
Kesejukan adalah indahnya ucapan…
Keindahan adalah santunnya diri…
1. Pendahuluan
Diskursus akuntansi sebagai ilmu hingga saat ini memang masih menyisakan beberapa pertanyaan mendasar. Mulai dari apakah ilmu akuntansi bebas nilai (value free) atau sarat nilai (value laden)? Apakah ilmu akuntansi obyektif atau subyektif? Apakah ilmu akuntansi memang tidak bisa lari dari kenyataan bahwa dia berada dalam genggaman positivisme atau harus memiliki keragaman cara pandang? Apakah ilmu akuntansi memang perlu atau tidak perlu dekat dengan realitas budaya, spiritualitas, religiusitas? Dan lain sebagainya, dan lain sebagainya, dan lain sebagainya.
Pertanyaan-pertanyaan mendasar positioning akuntansi tersebut memang tidak dapat dihindari, ketika akuntansi dipahami sebagai ilmu. Diskursus semacam itu bukanlah khas akuntansi, tetapi memang khas ketika akuntansi dipandang bukan hanya sebagai praktik ataupun hasil dari perekayasaan ilmu atau teknologi. Ketika akuntansi telah masuk dalam koridor keilmuan (science), maka akuntansi secara langsung telah memasuki pula “ruang permainan” science itu sendiri, yaitu apa yang dinamakan dengan Science War.
2. Science War dan Pendekatan Paradigmatik Ilmu
Science War atau perang ilmu muncul pertama kali sebagai wacana ilmiah resmi dan terpublikasi dalam edisi khusus jurnal ilmiah Social Text tahun 1995. Meskipun perbincangan dan saling kritik antara sudut pandang epistmologis ilmu juga telah berlangsung setahun sebelumnya ketika Paul Gross dan Norman Levitt menerbitkan buku berjudul “Higher Superstition: The Academic Left and its Quarrels with Science“. Gross dan Levitt di buku tersebut menjelaskan bahwa telah terjadi tarik menarik antara ilmuwan mainstream yang dimotori oleh scientist Amerika yang telah dikritik habis-habisan oleh ilmuwan kritis, karena ilmu telah dibawa oleh para aliran mainstream dalam koridor “politik dan ekonomi”, seperti industri senjata untuk kepentingan perang atau eksploitasi sumber daya alam dan ekonomisasi teknologi untuk kepentingan perusahaan multinasional (Sardar 2002).
Tujuan penerbitan edisi khusus Science War sendiri sebenarnya adalah untuk menjawab serangan para ilmuwan kritis/postmodernis (dalam jurnal tersebut disebut sebagai gerakan anti ilmu) atas kecurigaan mereka berkenaan dengan penyimpangan yang telah terjadi pada ilmu mainstream karena telah “ditunggangi” oleh “rejim maskulin”, “penerus kapitalisme” lewat empirisisme ilmiah dan berbagai dampak dektruktif ilmu terhadap masyarakat dan lingkungan (Sardar 2002).
Setahun kemudian (1996) Social Text memunculkan tulisan Alan D. Sokal, professor Fisika dari New York University, berjudul “Transgressing the Boundaries: Toward a Transformative Hermeneutics of Quantum Gravity”. Tulisan tersebut merupakan bantahan dan mungkin pantas disebut sebagai “olokan” yang tidak ilmiah sama sekali atas makin berkembangnya pemikiran baru di “luar” mainstream ilmu, postmodernisme, sebagai tak bernyawa “ilmu”. Media Lingua Franca edisi Mei-Juni 1996 memuat pengakuan Sokal bahwa naskahnya yang diterbitkan Social Text adalah olok-olok untuk memperdayai aliran di luar mainstream keilmuan. Hasilnya, naskah Sokal banyak mendapat cemoohan baik di kalangan akademisi mainstream sendiri maupun akademisi kritis di seluruh dunia, karena sarat dengan konsep-konsep konyol yang tak punya nilai secara ilmiah, tetapi terkesan “provokatif”, “liar”, dan emosional dari segi retorika (Arsuka 2000, Leksono 2000).
Science War menurut Sardar (2002) ternyata tidak baru terjadi tahun 1995-1996 tetapi merupakan “warisan lama” tak lekang zaman. Perang epistemologis ilmu bila kita tarik ke belakang, juga telah disikapi oleh Thomas Kuhn tahun 1960-an ketika memunculkan istilah Paradigm di bukunya yang berjudul The Structure of Scientific Revolutions, sebagai jawaban atas “pergolakan ilmu” (Science War) yang sedang terjadi saat itu. Science War menurut ilmuwan yang mendalami studi Sejarah Ilmu ini, dimulai awal abad 20, ketika ilmuwan fisika mulai terlibat dalam eksperimen untuk industri dan militer. Kemudian berkembang pada Science War II, ketika ilmu masuk dalam tataran ideology, dengan berkembangnya “ilmu sosialis”, yang merupakan implementasi pemikiran Marxism, sebagai antitesis “ilmu borjuis” (kapitalisme). Di antara pertentangan dua kutub inilah Thomas Kuhn memunculkan paradigma.
3. Paradigma dan Kemungkinan Integrasi Paradigmatik
Tujuan utama Kuhn adalah untuk menantang asumsi yang berlaku umum di kalangan ilmuwan mengenai perkembangan ilmu pengetahuan. Kalangan ilmuwan pada umumnya berpendirian bahwa perkembangan atau kemajuan ilmu pengetahuan itu terjadi secara kumulatif. Inti tesis Kuhn adalah bahwa perkembangan ilmu pengetahuan bukanlah terjadi secara kumulatif tetapi terjadi secara revolusi. Pendekatan revolusionis yang merupakan inti dari konsep paradigma adalah bentuk reaksi terhadap tafsir Whig atas sejarah. Sejarah adalah progresi kebebasan secara linier yang kian meningkat dan berpuncak pada masa kini (Sardar 2002).
Kritik mendalam Kuhn adalah pada metode ilmiah (mulai dari observasi, eksperimentasi, deduksi dan konklusi yang diidealisasikan). Dasar klaim ilmu yang obyektif dan universal menurutnya sebagai ilusi. Kuhn menyatakan paradigmalah yang menentukan jenis-jenis eksperimen ilmuwan, jenis-jenis pertanyaan yang diajukan dan masalah yang mereka anggap penting. Tanpa paradigma tertentu para ilmuwan bahkan tak bisa mengumpulkan ‘fakta’. Pergeseran paradigma mengubah konsep-konsep dasar yang melandasi riset dan mengilhami standar-standar pembuktian baru, teknik-teknik riset baru serta jalur-jalur teori dan eksperimen baru yang secara radikal ‘tidak bisa dibandingkan lagi’ dengan yang lama (Sardar 2002).
Makna munculnya konsepsi revolusi dalam ilmu adalah perang ilmu yang terjadi sepanjang sejarah untuk menetapkan kekuatan ilmu yang berada pada sisi satu sama lainnya. Tarik menarik ini (antara ilmu yang evolutif dan revolutif) telah menjadi tradisi yang tak kunjung selesai. Dan sebenarnya pula pikiran Kuhn bukan menolak tradisi ilmu yang telah mapan dan juga tidak menolak tradisi ilmu yang berkembang yang tidak muncul secara evolutif, tetapi terdapat kemungkinan revolusi di dalamnya. Meskipun Kuhn menunjukkan bahwa normal science adalah bentuk dogmatis paradigma tertentu. Hal ini ditunjukkan dalam proses terjadinya revolusi ilmu yang tidak terjadi secara langsung, tetapi melalui beberapa proses.
Dari proses di atas terlihat bahwa perubahan dari paradigma pertama menuju paradigma kedua, ilmu yang telah mapan (normal science) menempati paradigma pertama, adalah periode akumulasi ilmu pengetahuan di mana para ilmuwan bekerja dan mengembangkan paradigma yang sedang berpengaruh. Namun para ilmuwan tidak dapat mengelakkan pertentangan dengan pernyimpangan yang terjadi (anomalies) karena Paradigma I tidak mampu memberikan penjelasan terhadap persoalan yang timbul secara memadai.Selama penyimpangan memuncak, suatu krisis akan muncul dan paradigma itu sendiri mulai disangsikan validitasnya. Bila krisis sudah sedemikian seriusnya maka suatu revolusi akan terjadi dan paradigma baru akan muncul yang dianggap mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi persoalan paradigma sebelumnya.
Usulan menarik dari Ritzer (2003) berkenaan “jalan damai” yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan Science War maupun Pemisahan Paradigmatik Ilmu adalah dengan melakukan Integrasi Paradigma. Menurutnya, masing-masing paradigma tidak harus dihilangkan atau saling mereduksi, sepanjang tiap paradigma memang memberikan solusi sesuai posisinya masing-masing. Di samping tetap menghargai kemajemukan dan peran masing-masing, Ritzer menginginkan adanya integrasi paradigmatik. Integrasi merupakan salah satu cara untuk melengkapi paradigma yang ada dan bukan dimaksudkan untuk menciptakan posisi hegemoni baru.
Kunci utama integrasi paradigmatik ada pada gagasan mengenai tingkat analisis sosial. Seperti diketahui bahwa kehidupan sosial tidaklah terbagi dalam koridor-koridor seperti gambaran Burell dan Morgan (1979) misalnya. Realitas sosial sebenarnya merupakan fenomena beragam dan selalu terjadi interaksi dan selalu berubah. Individu, kelompok, keluarga, birokrasi, pemerintahan, kota, desa, negara dan berbagai fenomena lain tersebut mencerminkan deretan fenomena tak terstruktur teratur, yang dengan keunikannya tersebut membentuk kehidupan sosial. Untuk memahaminya jelas diperlukan sejumlah skema konseptual sedemikian rupa, sehingga realitas dapat dijelaskan secara baik dan apabila perlu mendekati keutuhan realitas itu sendiri. Bagaimana bentuknya? Ritzer sendiri belum memberikan koridor baru yang dapat diimplementasikan. Usulan integrasi paradigmatik dari Ritzer mungkin saja dapat dilakukan, meskipun hal itu masih berwujud wacana yang sulit terealisasi dalam waktu dekat. Bahkan yang terjadi saat ini adalah makin beragamnya pendekatan paradigmatik atas ilmu itu sendiri.
4. Refleksi Paradigmatik: Adakah Jalan Lain di luar Barat?
Bila kita lihat lebih jauh, pengembangan ilmu dan teknologi merupakan salah satu bentuk konkrit manusia untuk memuaskan sifat ingin tahu dirinya dan harapan hidup lebih baik. Pengembangan ilmu berkenaan dengan pemuasan sifat ingin tahu manusia, sedangkan pengembangan teknologi berkenaan dengan implementasi ilmu untuk memberikan harapan hidup lebih baik dari sebelumnya. Rasa ingin tahu dan hidup lebih baik inilah yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lain. Sensibilitas ingin tahu dan lebih baik ini pula yang kemudian merasuki ranah pemikiran dan membentuk apa yang dapat disebut sebagai progresifitas sifat dasar kemanusiaan (nature of progressivity of human being) dalam ranah ilmu dan teknologi (Mulawarman 2009, Forthcoming).
Progresifitas dapat berbentuk meneruskan perkembangan ilmu dan teknologi yang telah ada. Progresifitas juga dapat berbentuk menemukan ilmu dan berdampak pada bentuk teknologi yang baru. Progresifitas untuk meneruskan perkembangan ilmu dan teknologi biasanya berhubungan dengan pembuktian-pembuktian teoritis maupun empiris serta pengembangan teknologi dari hasil-hasil keilmuan yang lebih maju. Bentuk seperti ini mensyaratkan adanya kesamaan values (nilai-nilai) yang mendasari ilmu maupun teknologi, baik values dari ilmu itu sendiri, values yang melingkupi alam pikiran ilmuwan maupun lingkungan/masyarakatnya (Mulawarman 2009, Forthcoming).
Tidak salah bila Soedjatmoko (1986, 37) menekankan bawah aplikasi ilmu dan riset tidak dapat lepas dari basic values system masyarakatnya, bahkan untuk bekerja dengan hasil yang baik itupun harus dianggap dan diterima sebagai suatu value tersendiri. Progresifitas atau dikatakan Soedjatmoko sebagai “imajinasi kreatif” jelas merupakan hasil proses sosial, dan sebagai proses sosial ia berakar pada dasar kebudayaan sosial manusia (disebut Soedjatmoko sebagai bangsa). Di titik imajinasi kreatif atau progresifitas inilah kemudian terjadi perbedaan antara menjalankan tradisi keilmuan dan teknologi atau melakukan perubahan, intervensi maupun revolusi gagasan dasar atas values keilmuan dan teknologi itu sendiri. Artinya mengembangkan tradisi keilmuan dan kreasi teknologi dapat dilakukan dengan cara melakukan penemuan baru maupun perekayasaan teknologi sesuai keilmuan yang baru tersebut. Pengembangan tradisi baru jelas sekali menggunakan dan menyesuaikan values dimana tradisi keilmuan dan teknologi tersebut dikembangkan (Mulawarman 2009, Forthcoming).
Imajinasi kreatif atau progresifitas bagi dunia Barat dapat dilakukan sesuai dengan perkembangan sosial masyarakatnya, perkembangan kebudayaannya. Berdasarkan hal tersebut kemudian berkembang di dunia Barat apa yang dinamakan Paradigma Keilmuan atau Worlview Keilmuan2. Paradigma keilmuan Barat oleh Burell dan Morgan (1979) disusun berdasar empat paradigma utama, yaitu fungsionalisme, interpretif, radikal humanis dan radikal struktural. Sedangkan dalam akuntansi misalnya dibagi dalam paradigma positif, interpretif dan kritis (Chua, 1986; untuk pembagian berbeda lihat Belkaoui 2000). Muhadjir (2000) melakukan pembagian yang berbeda, yaitu positivis, postpositivis (di dalamnya termasuk interpretif dan kritis) dan postmodernisme. Sedangkan turunan metodologinya, biasanya paradigma positivis menggunakan metodologi kuantitatif, sedangkan di luar itu menggunakan metodologi kualitatif atau lainnya.
Perkembangan terbaru saat ini muncul apa yang disebut dengan paradigma spiritual. Paradigma ini sebenarnya merupakan rentetan yang dihasilkan dari perkembangan paradigmatik Barat, terutama sebagai hasil turunan paradigma postmodernisme afirmatif. Postmodernisme afirmatif menurut Rosenau (1992) dicirikan dengan persetujuannya dengan kalangan skeptis dalam kritik terhadap modernitas, meskipun aliran ini masih lebih mementingkan harapan, pandangan optimis, terbuka pada aksi positif politik atau konten (isi) dengan rekognisi visioner, merayakan proyek non-dogmatik (termasuk tentatif dan non-ideologis) personal yang berada pada ring Agama New Age dan Gaya Gidup Aliran Baru dan termasuk seluruh spektrum gerakan sosial postmodern.
Berbeda dengan pembagian paradigmatik Barat, tradisi Islam kontemporer memiliki beberapa definisi paradigma atau worldview yang menonjol. Zarkasyi (2005) mencatat setidaknya empat definisi paradigma atau worldview dalam khasanah Islam kontemporer, yaitu definisi dari Maulana Al-Maududi, Syaikh Atif al-Zain, Sayyid Qutb, dan Seyyed Naquib Al-Attas3. Point penting yang dapat ditangkap dari definisi keempat tokoh Muslim di atas adalah bahwa paradigma berkenaan dengan pandangan hidup Muslim tentang realitas dan kebenaran serta hakikat wujud yang berakumulasi dalam alam pikiran dan memancar dalam seluruh aktfitas kehidupan umat Islam.
Bila kita lihat penjelasan-penjelasan mengenai makna paradigma di atas, dapat kita lihat terdapat perbedaan pemahaman mengenai paradigma. Dalam tradisi Barat, paradigma lebih dilihat dalam konteks filsafat dan pandangan hidup yang memiliki tiga penekanan, yaitu motor bagi perubahan sosial, dasar bagi pemahaman realitas, dan dasar bagi aktifitas ilmiah. Namun dalam Islam makna paradigma menjangkau makna pandangan Islam terhadap hakikat dan kebenaran tentang alam semesta dan selalu berujung pada Kebenaran Mutlak (Al-Haqq) yaitu Allah. Paradigma Islam tidak terbatas pandangan akal manusia terhadap dunia fisik atau keterlibatan manusia di dalamnya dari segi historis, sosial, politik dan kultural, tetapi mencakup aspek dunia dan hari akhir, dimana aspek dunia harus terikat dan mendalam dengan aspek akhirat, sedangkan aspek akhirat harus diletakkan sebagai aspek final. Mudahnya, paradigma dalam bahasa Al-Faruqi disebut dengan Tawhid.
Pertanyaannya kemudian, bila pendekatan paradigmatik Barat berbeda dengan pandangan religius seperti Islam di atas misalnya, maka apakah dimungkinkan adanya perbedaan yang signifikan pula akan pendekatan paradigmatik dari agama lain? Saya kira hal itu sah-sah saja. Artinya ketika pendekatan paradigmatik Barat dirasa “sesak” karena adanya “ideologisasi” yang melekat pada dirinya, atau dirasa “terlalu longgar” karena adanya “deideologisasi” paradigmatik, maka dapat dipastikan serta perlunya ruang lain yang memberikan kebebasan atas kreativitas atas nama ilmu untuk mengkreasi, katakanlah, Paradigma Religius. Contohnya, seperti dijelaskan singkat di atas, yaitu Paradigma Islam.
5. Catatan Akhir: Refleksi Melalui Metatheorizing Akuntansi
Pilihan-pilihan atas pengembangan keilmuan akuntansi memang tidak harus “memiliki” langgam yang sama, karena ilmu akuntansi sebagai hasil dari kehidupan sosial dan pikiran manusia tidak dapat “dipenjara” oleh perspektif atau diskursus yang memberikan katagori-kategori sedemikian rupa akan menghilangkan kreativitas keilmuan dan realitas sosial itu sendiri. Memahami pengembangan paradigmatik akuntansi untuk memotret realitas sosial akuntansi apa adanya dan sesuai dengan realitas sosial akuntansi itu sendiri akhirnya pula perlu kejernihan dan bijak sebagai bentuk demokratisasi berpikir tanpa sekat-sekat yang menghalanginya. Artinya, saling memahami posisi paradigmatik tiap pengamat akuntansi perlu dikedepankan.
Untuk menjembatani hal tersebut menjadi penting melakukan meta analisis sebagai bentuk refleksi sosiologis ilmu akuntansi. Meta analisis tersebut dapat merujuk usulan Metatheorizing Sosiologi dari Ritzer dan Goodman (2007). Metatheorizing atau metateori akuntansi dapat dilakukan melewati tiga cara. Pertama, metateori sebagai alat untuk menghasilkan pemahaman lebih baik dan lebih mendalam tentang teori akuntansi yang ada. Kedua, metateori sebagai prelude pengembangan teori akuntansi atas teori akuntansi yang telah ada untuk menciptakan teori akuntansi baru. Ketiga, metateori sebagai sumber perspektif yang mendasari teori akuntansi untuk menciptakan sebuah perspektif atau paradigma.
Akhirnya, memahami akuntansi secara sosiologis seperti ditekankan Pierre Bourdieu haruslah selalu dalam koridor refleksif (Bourdieu dan Wacquant 1992). Menurutnya sosiologi seharusnya menjadi meta tetapi selalu vis-à-vis dengan dirinya sendiri. Hal ini diperlukan agar sosiologi terhindar dari permainan kekuatan sosial yang dominan dalam melakukan studi sosiologi, bebas dari kekerasan simbolis (symbolic violence)4. Singkatnya, PILIHAN SOSIOLOGIS AKUNTANSI TERDAPAT DALAM REFLEKSI DIRI KITA MASING-MASING dan BERETIKA!!!…Insya Allah.
Oleh: Aji Dedi Mulawarman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar