Minggu, 20 September 2009

SEJARAH IKATAN AKUNTANSI INDONESIA (IAI)

Pembangunan Nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata spritiual dan material berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Karenanya, adalah kewajiban bagi setiap warga negara untuk berdarma bakti sesuai dengan profesi dan keahlian masing-masing.

Sejalan dengan itu, pengembangan profesi akuntan ditujukan untuk meningkatkan pengabdian profesi dalam Pembangunan Nasional, yang pada hakekatnya adalah pembangunan manusia Indonesia dan Pembangunan Masyarakat Indonesia. Para akuntan menyadari perlunya dukungan secara sistematis dan tertib demi pemeliharaan serta peningkatan kompetensi profesionalnya, maka merasa perlu untuk dibina, dibimbing, difasilitasi, dan diingatkan secara profesional.

Dalam rangka pembinaan tersebut, perlu adanya wadah yang mewakili akuntan secara keseluruhan, menetapkan standar kualitas, mengembangkan dan menegakkan etika profesi, memelihara martabat dan kehormatan, membina moral dan integritas yang tinggi, mewujudkan kepercayaan atas hasil kerja profesi akuntan dan wadah komunikasi, konsultasi, koordinasi serta usaha-usaha bersama lainnya yang diperlukan. Menyadari akan hal tersebut maka para akuntan bergabung dalam wadah organisasi yaitu Ikatan Akuntan Indonesia.

Pada waktu Indonesia merdeka, hanya ada satu orang akuntan pribumi, yaitu Prof. Dr. Abutari, sedangkan Prof. Soemardjo lulus pendidikan akuntan di negeri Belanda pada tahun 1956.

Akuntan-akuntan Indonesia pertama lulusan dalam negeri adalah Basuki Siddharta, Hendra Darmawan, Tan Tong Djoe, dan Go Tie Siem, mereka lulus pertengahan tahun 1957. Keempat akuntan ini bersama dengan Prof. Soemardjo mengambil prakarsa mendirikan perkumpulan akuntan untuk bangsa Indonesia saja. Alasannya, mereka tidak mungkin menjadi anggota NIVA (Nederlands Institute Van Accountants) atau VAGA (Vereniging Academisch Gevormde Accountants). Mereka menyadari keindonesiaannya dan berpendapat tidak mungkin kedua lembaga itu akan memikirkan perkembangan dan pembinaan akuntan Indonesia.

Hari Kamis, 17 Oktober 1957, kelima akuntan tadi mengadakan pertemuan di aula Universitas Indonesia (UI) dan bersepakat untuk mendirikan perkumpulan akuntan Indonesia. Karena pertemuan tersebut tidak dihadiri oleh semua akuntan yang ada maka diputuskan membentuk Panitia Persiapan Pendirian Perkumpulan Akuntan Indonesia. Panitia diminta menghubungi akuntan lainnya untuk menanyakan pendapat mereka. Dalam Panitia itu Prof. Soemardjo duduk sebagai ketua, Go Tie Siem sebagai penulis, Basuki Siddharta sebagai bendahara sedangkan Hendra Darmawan dan Tan Tong Djoe sebagai komisaris. Surat yang dikirimkan Panitia kepada 6 akuntan lainnya memperoleh jawaban setuju.

Perkumpulan yang akhirnya diberi nama Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) akhirnya berdiri pada 23 Desember 1957, yaitu pada pertemuan ketiga yang diadakan di aula UI pada pukul 19.30.

Susunan pengurus pertama terdiri dari:

Ketua
Prof. Dr. Soemardjo Tjitrosidojo

Panitera
Drs. Mr. Go Tie Siem

Bendahara
Drs. Sie Bing Tat (Basuki Siddharta)

Komisaris
Dr. Tan Tong Djoe
Drs. Oey Kwie Tek (Hendra Darmawan)

Keenam akuntan lainnya sebagai pendiri IAI adalah

1. Prof. Dr. Abutari
2. Tio Po Tjiang
3. Tan Eng Oen
4. Tang Siu Tjhan
5. Liem Kwie Liang
6. The Tik Him

Konsep Anggaran Dasar IAI yang pertama diselesaikan pada 15 Mei 1958 dan naskah finalnya selesai pada 19 Oktober 1958. Menteri Kehakiman mengesahkannya pada 11 Pebruari 1959. Namun demikian, tanggal pendirian IAI ditetapkan pada 23 Desember 1957. Ketika itu, tujuan IAI adalah:

1. Membimbing perkembangan akuntansi serta mempertinggi mutu pendidikan akuntan.
2. Mempertinggi mutu pekerjaan akuntan.

Sejak pendiriannya 49 tahun lalu, kini IAI telah mengalami perkembangan yang sangat luas. Hal ini merupakan perkembangan yang wajar karena profesi akuntan tidak dapat dipisahkan dari dunia usaha yang mengalami perkembangan pesat. Salah satu bentuk perkembangan tersebut adalah meluasnya orientasi kegiatan profesi, tidak lagi semata-mata di bidang pendidikan akuntansi dan mutu pekerjaan akuntan, tetapi juga upaya-upaya untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat dan peran dalam perumusan kebijakan publik.

Misi

*

memelihara integritas, komitmen, dan kompetensi anggota dalam pengembangan manajemen bisnis dan publik yang berorientasi pada etika, tanggungjawab, dan lingkungan hidup;
*

mengembangkan pengetahuan dan praktek bisnis, keuangan, atestasi, non-atestasi, dan akuntansi bagi masyarakat; dan
*

berpartisipasi aktif di dalam mewujudkan good governance melalui upaya organisasi yang sah dan dalam perspektif nasional dan internasional.

Visi

Visi IAI adalah menjadi organisasi profesi terdepan dalam pengembangan pengetahuan dan praktek akuntansi, manajemen bisnis dan publik, yang berorientasi pada etika dan tanggungjawab sosial, serta lingkungan hidup dalam perspektif nasional dan internasional.

Sabtu, 25 Juli 2009

Panduan Akuntansi Perpajakan


PERNYATAAN PSAK 46
STANDARD AKUNTANSI KEUANGAN
IKATAN AKUNTANSI KEUANGAN INDONESA
AKUNTANSI PAJAK PENGHASILAN

PSAK Nomor 46 tentang AKUNTANSI PAJAK PENGHASILAN telah disetujui dalam rapat Komite Standard Akuntansi Keuangan pada tanggal 20 Desember 1997 dan telah disahkan oleh Pengurus Pusat Ikatan Akuntan Indonesia pada tanggal 23 Desember 1997.

Pernyataan ini tidak wajib untuk unsur yang tidak material (immaterial items).

Jakarta, 23 Desember 1997

Komite Standard Akuntansi Keuangan

Jusuf Halim Ketua
Istini T. Sidharta Wakil Ketua
Mirza Mochtar Sekretaris
Wahyudi Prakarsa Anggota
Katjep K. Abdoelkadir Anggota
Jan Hoesada Anggota
Hein G. Suryaatmadja Anggota
Sobo Sitorus Anggota
Timoty E. Marnandus Anggota
Mirawaty Sudjono Anggota
Nur Indriantoro Anggota
Rusdy Daryono Anggota
Siti Ch. Fadjriah Anggota
Osman Sitorus Anggota
Jusuf Wibisana Anggota
Yosefa Sayekti Anggota
Heri Wahyu Setiyarso Anggota

SAMBUTAN KETUA UMUM IKATAN AKUNTAN INDONESIA

Dalam memasuki era globalisasi, arus dana tidak lagi mengenal batas negara dan tuntutan transparansi informasi keuangan semakin meningkat,baik dari pengguna laporan keuangan di dalam negeri maupun di luar negeri. Untuk memenuhi tuntutan yang semakin meningkat tersebut, Standard Akuntansi Keuangan haruslah berwawasan global.

Dengan keterbatasan tenaga, waktu dan dana, Ikatan Akuntan Indonesia selalu berusaha secara berkesinambungan untuk meningkatkan mutu standar akuntansi keuangan agar laporan keuangan yang disajikan perusahaan Indonesia dapat sejalan dengan standar perkembangan internasional. Peningkatan mutu tersebut dilakukan baik dengan penerbitan standar baru maupun dengan melakukan penyempurnaan terhadap standar yang telah ada.

Upaya pengembangan standar akuntansi ini tentunya tidak akan berhasil tanpa dukungan berbagai pihak. Pada kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan-Departemen Keuangan yang telah mendukung upaya pengembangan standar akuntansi ini melalui Sub-Tim Pengembangan Sistem Akuntansi di Sektor Swasta.

Kami juga menyampaikan terima kasih kepada badan dan instansi pemerintah lainnya. Kantor Akuntan Publik Drs. Hadi Sutanto & Rekan, perguruan tinggi, asosiasi, perusahaan dan pihak lainnya yang telah banyak memberikan masukan dan dukungan dalam proses pengembangan standar akuntansi ini. Kepada seluruh anggota Komite Standar Akuntansi Keuangan yang telah bekerja tanpa pamrih dengan semangat profesionalisme, kami ucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya.

Jakarta, 23 Desember 1997

Pengurus Pusat
IKATAN AKUNTANSI INDONESIA

ttd.

Drs. Soedarjono
Ketua Umum

PENDAHULUAN



Tujuan

01
Pernyataan ini bertujuan mengatur perlakuan akuntansi untuk pajak penghasilan. Masalah utama perlakuan akuntansi untuk pajak penghasilan adalah bagaimana mempertanggung-jawabkan konsekuensi pajak pada periode mendatang untuk hal-hal berikut ini :

a)
pemulihan nilai tercatat aktiva yang diakui pada neraca perusahaan atau pelunasan nilai tercatat kewajiban yang diakui pada neraca perusahaan; dan

b)
transaksi-transaksi atau kejadian-kejadian lain pada periode berjalan yang diakui pada laporan keuangan perusahaan.

02
Pengakuan aktiva atau kewajiban pada laporan keuangan secara tersirat, berarti bahwa perusahaan pelapor akan dapat memulihkan nilai tercatat aktiva tersebut atau akan melunasi nilai tercatat kewajiban tersebut. Apabila besar kemungkinan bahwa pemulihan aktiva atau pelunasan kewajiban tersebut akan mengakibatkan pembayaran pajak pada periode mendatang yang lebih besar atau lebih kecil dibandingkan pembayaran pajak sebagai akibat pemulihan aktiva atau pelunasan kewajiban yang tidak memiliki konsekuensi pajak, maka Pernyataan ini mengharuskan perusahaan untuk mengakui kewajiban pajak tangguhan atau aktiva pajak tangguhan, dengan beberapa pengecualian.

03
Pernyataan ini mengharuskan perusahaan memperlakukan konsekuensi pajak dari suatu transaksi dan kejadian lain sama dengan cara perusahaan memperlakukan transaksi dan kejadian tersebut. Oleh karena itu untuk transaksi dan kejadian lain yang diakui pada laporan laba rugi, konsekuensi atau pengaruh pajak dari transaksi dan kejadian tersebut harus diakui pula pada laporan laba rugi. Sedangkan untuk transaksi dan kejadian lain yang langsung dibebankan atau dikreditkan ke ekuitas. Demikian pula, pengakuan aktiva dan kewajiban pajak tangguhan pada suatu penggabungan usaha mempengaruhi saldo goodwill atau goodwill negatif yang timbul dari penggabungan usaha tersebut.

04
Pernyataan ini juga mengatur pengakuan aktiva pajak tangguhan yang berasal dari sisa rugi yang dapat dikompensasi ke tahun berikut, penyajian pajak penghasilan pada laporan keuangan, dan pengungkapan informasi yang berhubungan dengan pajak penghasilan.

Ruang lingkup

05
Pajak Penghasilan yang diatur oleh pernyataan ini mencakup juga pajak penghasilan final sebagaimana diatur pada paragraph 50-54.

06
Dengan berlakunya Pernyataan ini, maka paragraf 77 Penyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 16 dinyatakan tidak berlaku.

Definisi

07
Berikut ini adalah pengertian istilah yang digunakan dalam Pernyataan ini:

Pajak Penghasilan adalah pajak yang dihitung berdasarkan peraturan perpajakan dan pajak ini dikenakan atas penghasilan kena pajak perusahaan.

Pajak Penghasilan Final adalah pajak penghasilan yang bersifat final, yaitu bahwa setelah pelunasannya, kewajiban pajak telah selesai dan penghasilan yang dikenakan pajak penghasilan final tidak digabungkan dengan jenis penghasilan lain yang terkena pajak penghasilan yang bersifat tidak final. Pajak jenis ini dapat dikenakan terhadap jenis penghasilan, transaksi atau usaha tertentu.

Laba Akuntansi adalah laba atau rugi bersih selama satu periode sebelum dikurangi beban pajak.

Penghasilan Kena Pajak atau laba fiskal (taxable profit) atau rugi pajak (tax loss) adalah laba atau rugi selama satu periode yang dihitung berdasarkan peraturan perpajakan dan yang menjadi dasar penghitungan pajak penghasilan.

Beban pajak (tax expense) atau penghasilan pajak (tax income) adalah jumlah agregat pajak kini(current tax) dan pajak tangguhan (deferred tax) yang diperhitungkan dalam penghitungan laba atau rugi pada satu periode.

Pajak kini (current tax) adalah jumlah pajak penghasilan terutang (payable) atas penghasilan kena pajak pada satu periode.

Kewajiban pajak tangguhan (deferred tax liabilities) adalah jumlah pajak penghasilan terutang (payable) untuk periode mendatang sebagai akibat adanya perbedaan temporer kena pajak.

Aktiva pajak tangguhan (deferred tax asset) adalah jumlah pajak penghasilan terpulihkan (recoverable) pada periode mendatang sebagai akibat adanya

a)
perbedaan temporer yang boleh dikurangkan, dan

b)
sisa kompensasi kerugian.

Perbedaan temporer(temporary differences) adalah perbedaan antara jumlah tercatat aktiva atau kewajiban dengan DPP-nya. Perbedaan temporer dapat berupa :

a)
perbedaan temporer kena pajak (taxable temporary differences) adalah perbedaan temporer yang menimbulkan suatu jumlah kena pajak (taxable amounts) dalam penghitungan laba fiskal periode mendatang pada saat nilai tercatat aktiva dipulihkan (recovered) atau nilai tercatat kewajiban tersebut dilunasi (settled); atau

b)
perbedaan temporer yang boleh dikurangkan (deductible temporary differences) adalah perbedaan temporer yang menimbulkan suatu jumlah yang boleh dikurangkan (deductible amounts) dalam penghitungan laba fiskal periode mendatang pada saat nilai tercatat aktiva dipulihkan (recovered) atau nilai tercatat kewajiban tersebut dilunasi (settled).

Dasar pengenaan pajak (DPP)aktiva atau kewajiban adalah nilai aktiva atau kewajiban yang diakui oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam penghitungan laba fiskal.

Surat Ketetapan Pajak adalah surat yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak yang dapat berupa :

a)
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah surat keputusan yang menentukan besarnya jumlah pajak yang terutang, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi dan jumlah yang masih harus dibayar ;

b)
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan adalah surat keputusan yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan;

c)
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar adalah suatu surat keputusan yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajaklebih besar dari pajak yang trutang atau tidak seharusnya terutang;

d)
Surat Ketetapan Pajak Nihil adalah surat keputusan yang menentukan jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.

Surat Tagihan Pajakadalah surat yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk melakukan tagihan pajak dan/atau denda.

08
Beban pajak (Pajak Penghasilan) terdiri dari beban pajak kini (penghasilan kini) dan beban pajak tangguhan (pajak penghasilan tangguhan).

Dasar Pengenaan Pajak (DPP)

09
DPP aktiva adalah jumlah yang dapat dikurangkan, untuk tujuan fiskal, terhadap setiap manfaat ekonomi(penghasilan) kena pajak yang akan diterima perusahaan pada saat memulihkan nilai tercatat aktiva tersebut. Apabila manfaat ekonomi (penghasilan) trsebut tidak akan dikenakan pajak maka DPP aktiva adalah sama dengan nilai tercatat aktiva.

Contoh :

a)
Mesin nilai perolehan 100. Untuk tujuan fiskal, mesin telah disusutkan sebesar 30 dan sisa nilai buku dapat dikurangkan pada periode mendatang. Penghasilan mendatang dari penggunaan aktiva merupakan obyek pajak. DPP aktiva tersebut adalah 70.

b)
Piutang bunga mempunyai nilai tercatat 100. Untuk tujuan fiskal, pendapatan bunga diakui dengan dasar kas. DPP piutang adalah nihil

c)
Piutang usaha mempunyai nilai tercatat 100. Pendapatan usaha terkait telah diakui untuk tujuan fiskal. DPP piutang adalah 100.

d)
Pinjaman yang diberikan mempunyai nilai tercatat 100. Penerimaan kembali pinjaman tidak mempunyai konsekuensi pajak. DPP pinjaman yang diberikan adalah 100

10
DPP kewajiban adalah nilai tercatat kewajiban dikurangi dengan setiap jumlah yang dapat dikurangkan pada masa mendatang. Contoh :

a)
Nilai tercatat beban yang masih harus dibayar (accured expenses) 100. Biaya tersebut dapat dikurangkan untuk tujuan fiskal dengan dasar kas. DPP-nya adalah nol.

b)
Nilai tercatat pendapatan bunga diterima dimuka 100. Untuk tujuan fiskal, pendapatan bunga tersebut dikenakan pajak dengan dasar kas. DPP-nya adalah nol.

c)
Nilai tercatat beban masih harus dibayar (accured expense) 100. Untuk tujuan fiskal biaya tersebut telah dikurangkan. DPP-nya adalah 100.

d)
Nilai tercatat beban denda yang masih harus dibayar 100. Untuk tujuan fiskal, beban denda tersebut tidak dapat dikurangkan. DPP-nya adalah 100.

e)
Nilai tercatat pinjaman yang diterima 100. Pelunasan pinjaman tersebut tidak mempunyai konsekuensi pajak. DPP-nya adalah 100.

11
Apabila DPP aktiva atau kewajiban tidak begitu jelas, maka DPP tersebut dapat ditentukan menurut prinsip dasar yang digunakan dalam Pernyataan ini. Dengan beberapa pengecualian, perusahaan harus mengakui kewajiban (aktiva) pajak tangguhan apabila pemulihan nilai tercatat aktiva atau pelunasan nilai tercatat kewajiban tersebut akan mengakibatkan pembayaran pajak pada periode mendatang lebih besar atau lebih kecil dibandingkan dengan pembayaran pajak sebagai akibat pemulihan aktiva atau pelunasan kewajiban yang tidak memiliki konsekuensi pajak.

12
Dalam laporan keuangan konsolidasi, perbedaan temporer ditentukan dengan membandingkan nilai tercatat aktiva dan kewajiban pada laporan keuangan konsolidasi dengan DPP-nya. Berhubung peraturan perundangan perpajakan di Indonesia tidak memperkenankan SPT konsolidasi, maka DPP aktiva dan kewajiban ditentukan dengan merujuk pada SPT masing-masing entitas.



Pengakuan Aktiva Pajak Kini (Current Tax Assets) dan Kewajiban Pajak Kini (Current Tax Liabilities)

13
Jumlah pajak kini, yang belum dibayar harus diakui sebagai kewajiban. Apabila jumlah pajak yang telah dibayar untuk periode berjalan dan periode- periode sebelumnya melebihi jumlah pajak yang terutang untuk periode-periode tersebut, maka selisihnya, diakui sebagai aktiva.


Pengakuan Aktiva Pajak Tangguhan (Deferred Tax Assets)
dan Kewajiban Pajak Tangguhan (Deferred Tax Liabilities)

Perbedaan Temporer Kena Pajak (Taxable Temporary Differences)

14
Semua perbedaan temporer kena pajak diakui sebagai kewajiban pajak tangguhan, kecuali jika timbul perbedaan temporer kena pajak :

a)
dari goodwill yang amortisasinya tidak dapat dikurangkan untuk tujuan fiskal; atau
b)
pada saat pengakuan awal aktiva atau kewajiban dari suatu transaksi yang :

i)
bukan transaksi penggabungan usaha ; dan
ii)
pada saat transaksi, tidak mempengaruhi laba akuntansi dan laba fiskal.

15
Pengakuan suatu aktiva mengandung makna bahwa nilai tercatat aktiva tersebut akan terpulihkan dalam bentuk manfaat ekonomi yang akan diterima oleh perusahaan pada periode mendatang. Apabila nilai tercatat aktiva lebih besar daripada DPP-nya, jumlah manfaat ekonomi yang kena pajak akan melebihi jumlah yang dapat dikurangkan untuk tujuan fiskal. Perbedaan ini merupakan perbedaan temporer kena pajak dan kewajiban pajak tangguhan. Pada saat perusahaan memulihkan (recover) nilai tercatat aktiva, perbedaan temporer kena pajak akan terealisasi menjadi laba fiskal. Hal ini dapat mengakibatkan timbulnya kewajiban pajak. Oleh karena itu, Pernyataan ini menghendaki pengakuan semua kewajiban pajak tangguhan, kecuali pada kondisi tertentu seperti tersebut pada paragraph 14.

16
Beberapa perbedaan temporer timbul apabila penghasilan atau beban diakui dalam penghitungan laba akuntansi yang berbeda dengan periode saat penghasilan atau beban tersebut diakui dalam penghitungan laba fiskal. Berikut ini disajikan contoh perbedaan temporer kena pajak yang akan menimbulkan kewajiban pajak tangguhan, misalnya : penyusutan yang digunakan dalam penghitungan laba fiskal mungkin berbeda dengan penyusutan yang digunakan dalam penghitungan laba akuntansi. Perbedaan temporernya adalah selisih antara nilai tercatat aktiva tetap dengan DPP-nya. DPP aktiva tetap adalah sebesar harga perolehan dikurangi seluruh pengurangan yang diperkenankan oleh peraturan perundangan perpajakan dalam penghitungan fiskal. Perbedaan temporer kena pajak tersebut menyebabkan timbulnya kewajiban pajak tangguhan, apabila penyusutan menurut pajak menggunakan metode dipercepat (accelerated). Sebaliknya, apabila penyusutan menurut pajak lebih lambat dibanding penyusutan menurut akuntansi maka timbul perbedaan temporer yang boleh dikurangkan dalam penghitungan laba fiskal, sehingga timbul aktiva pajak tangguhan.

17
Perbedaan temporer juga timbul apabila :

a)
biaya pemerolehan dalam suatu penggabungan usaha, yang secara substansi merupakan suatu akuisisi, dialokasi pada aktiva dan kewajiban tertentu berdasarkan dasar nilai wajar sedangkan penyesuaian tersebut tidak diperkenankan untuk tujuan fiskal (lihat paragraph 18);

b)
terdapat goodwill atau goodwill negatif yang muncul pada saat konsolidasi (lihat paragraph 18 dan 28 ); atau

c)
pada saat pengakuan awal, DPP aktiva atau kewajiban berbeda dengan nilai tercatatnya, sebagai contoh apabila perusahaan memperoleh bantuan atau sumbangan (yang bukan merupakan obyek pajak) dalam bentuk aktiva(lihat paragraph 19 dan 29).



Penggabungan Usaha

18
Pada penggabungan usaha yang secara substansi merupakan akuisisi, biaya pemerolehan akuisisi dialokasi pada aktiva dan kewajiban teridentifikasi dengan dasar nilai wajar aktiva dan kewajiban pada tanggal transaksi pertukaran. Perbedaan temporer muncul apabila DPP aktiva dan Kewajiban teridentifikasi tidak dipengaruhi oleh penggabungan usaha. Sebagai contoh, apabila nilai tercatat suatu aktiva disesuaikan ke nilai wajarnya tetapi DPP aktiva tersebut tetap sebesar harga pemerolehan sebelumnya,maka timbul perbedaan temporer yang mengakibatkan timbulnya kewajiban pajak tangguhan. Kewajiban pajak tangguhan tersebut mempengaruhi goodwill (lihat paragraph 42)

19
Kewajiban (aktiva) pajak tangguhan tidak diakui atas goodwill (goodwill negatif) yang diakui sesuai dengan PSAK 22 tentang Akuntansi Penggabungan Usaha.



Pengakuan Awal Aktiva atau Kewajiban

20
Perbedaan temporer mungkin timbul pada saat pengakuan awal suatu aktiva atau kewajiban, sebagai contoh apabila sebagian atau seluruh harga pemerolehan suatu aktiva tidak dapat dikurangkan untuk tujuan fiskal. Metode akuntansi untuk perbedaan temporer tersebut, tergantung dari sifat transaksi yang menyebabkan dilakukannya pengakuan awal aktiva :

a)
dalam suatu penggabungan usaha, perusahaan mengakui kewajiban atau aktiva pajak tangguhan dan pengakuan ini mempengaruhi jumlah goodwill atau goodwill negatif (lihat paragraph 19)

b)
apabila transaksi mempengaruhi laba akuntansi atau laba fiskal, perusahaan mengakui beban (penghasilan) pajak tangguhan pada laporan laba rugi;

c)
apabila sifat transaksi (1) bukan transaksi penggabungan usaha, (2) tidak mempengaruhi laba akuntansi atau laba fiskal, atau (3) tidak dikecualikan dalam 15 dan 21, maka perusahaan tidak diperkenankan mengakui kewajiban atau aktiva pajak tangguhan pada pengakuan awal ataupun pada periode selanjutnya (subsequent recognition), karena penyesuaian nilai tercatat aktiva atau kewajiban pajak tangguhan tersebut akan mengakibatkan laporan keuangan menjadi kurang transparan. Perusahaan juga tidak diperkenakan untuk mengakui perubahan selanjutnya dalam kewajiban atau aktiva pajak tangguhan yang belum diakui pada saat aktiva tersebut disusutkan.



Perbedaan Temporer yang Boleh Dikurangkan (Deductible Temporary Differences)

21
Aktiva pajak tangguhan (deferred tax assets) diakui untuk seluruh perbedaan temporer yang boleh dikurangkan, sepanjang besar kemungkinan perbedaan temporer yang boleh dikurangkan tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengurangi laba fiskal ada masa yang akan datang, kecuali aktiva pajak tangguhan yang timbul dari :

a)
goodwill negatif yang diakui sebagai pendapatan tangguhan sesuai dengan PSAK 22 tentang Akuntansi Penggabungan Usaha; atau

b)
pengakuan awal aktiva atau kewajiban pada suatu transaksi yang :

i)
bukan transaksi penggabungan usaha; dan
ii)
tidak mempengaruhi baik laba akuntansi maupun laba fiskal.

22
Pengakuan suatu kewajiban mengandung makna bahwa nilai tercatat kewajiban akan diselesaikan pada masa yang akan datang dengan menggunakan sumber daya. Pada saat sumber daya tersebut digunakan untuk menyelesaikan kewajiban, sebagian atau seluruh jumlah sumber daya tersebut mungkin dapat dikurangkan dari laba fiskal pada periode setelah pengakuan kewajiban. Dalam hal ini, perbedaan temporer adalah selisih antara nilai tercatat kewajiban dan DPP-nya. Oleh karena itu, timbul aktiva pajak tangguhan berupa pajak penghasilan yang dapat dipulihkan pada masa yang akan datang, yaitu saat bagian dari kewajiban tersebut dapat dikurangkan dalam penghitungan laba fiskal. Demikian pula halnya, apabila nilai tercatat aktiva lebih rendah dari DPP-nya, maka selisihnya merupakan aktiva pajak tangguhan berupa pajak penghasilan yang dapat dipulihkan pada masa yang akan datang.

23
Berkut ini adalah contoh perbedaan temporer yang boleh dikurangkan dan menimbulkan aktiva pajak tangguhan adalah biaya manfaat pensiun(retirement benefit cost). Biaya tersebut dapat dikurangkan dalam penghitungan laba akuntansi, tetapi biaya tersebut baru dapat dikurangkan dalam penghitungan laba fiskal pada saat iuran atau manfaat pensiun tersebut dibayar oleh perusahaan. Perbedaan temporer adalah sebesar selisih antara nilai tercatat kewajiban dengan DPP-nya (DPP-nya umumnya adalah nol). Perbedaan temporer yang boleh dikurangkan akan menimbulkan aktiva pajak tangguhan karena manfaat ekonomi akan diperoleh perusahaan dalam bentuk pengurangan terhadap laba fiskal pada saat iuran atau manfaat pensiun dibayar.

24
Penggunaan perbedaan temporer yang boleh dikurangkan pada masa yang akan datang terjadi dalam bentuk pengurangan laba fiskal. Namun, manfaat ekonomi berupa pengurangan pembayaran pajakhanya akan dinikmati oleh perusahaan apabila perusahaan mempunyai laba fiskal dalam jumlah yang memadai sehingga realisasi tersebut dapat dimanfaatkan. Oleh karena itu, perusahaan mengakui aktiva pajak tangguhan hanya apabila besar kemungkinan bahwa laba fiskal akan tersedia dalam jumlah yang memadai sehingga perbedaan temporer tersebut dapat dimanfaatkan.



Pengakuan Awal Aktiva atau Kewajiban

25
Adalah satu contoh timbulnya aktiva pajak tangguhan pada saat pengakuan awal suatu aktiva, adalah bantuan atau sumbangan yang tidak kena pajak. Untuk tujuan akuntansi bantuan atau sumbangan tersebut yang berupa suatu aktiva berwujud boleh disusutkan tetapi untuk tujuan fiskal tidak, aktiva tersebut tidak boleh disusutkan. Oleh karena itu nilai tercatat aktiva tersebut akan lebih kecil dari DPP-nya sehingga timbul perbedaan temporer yang boleh dikurangkan. Perusahaan tidak mengakui aktiva pajak tangguhan dari bantuan atau sumbangan tersebut karena alasan seperti dijelaskan pada paragraph 20.

Saldo Rugi Fiskal yang Dapat Dikompensasi

26
Saldo rugi fiskal yang dapat dikompensasi diakui sebagai aktiva pajak tangguhan apabila besar kemungkinan bahwa laba fiskal pada masa yang akan datang memadai untuk dikompensasi.

27
Berikut ini adalah hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam menentukan apakah penghasilan kena pajak akan tersedia dalam jumlah memadai untuk dikompensasikan :

a)
apakah perusahaan mempunyai perbedaan temporer kena pajak dalam jumlah yang memadai yang memungkinkan sisa kompensasi dapat digunakan sebelum masa berlakunya kadaluwarsa;

b)
apakah perusahaan mungkin memperoleh laba fiskal agar saldo rugi fiskal yang dapat dikompensasi kerugian dapat digunakan sebelum masa berlakunya daluwarsa;

c)
apakah saldo rugi fiskal yang dapat dikompensasi timbul dari kasus-kasus tertentu yang hampir tidak mungkin berulang.

Apabila laba fiskal tidak mungkin tersedia dalam jumlah yang memadai untuk dapat dikompensasi dengan saldo rugi fiskal yang dapat dikompensasi, maka aktiva pajak tangguhan tidak diakui.



Penilaian Kembali Aktiva Pajak Tangguhan

28
Pada setiap tanggal neraca, perusahaan menilai kembali aktiva pajak tangguhan yang tidak diakui. Perusahaan mengakui aktiva pajak tangguhan yang sebelumnya tidak diakui apabila besar kemungkinan bahwa laba fiskal pada masa yang akan datang akan tersedia untuk pemulihannya. Sebagai contoh, perbaikan dalam kondisi perekonomian meningkatkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba fiskal dalam jumlah yang memadai pada periode mendatang aktiva pajak tangguhan yang sebelumnya tidak diakui menjadi memenuhi kriteria pengakuan.



Pengukuran

29
Kewajiban (aktiva) pajak kini untuk periode berjalan dan periode sebelumnya, diakui sebesar jumlah pajak terhutang (restitusi pajak), yang dihitung dengan menggunakan tariff pajak (peraturan pajak) yang berlaku atau yang telah secara substantif berlaku pada tanggal neraca.

30
Aktiva dan kewajiban pajak tangguhan harus diukur dengan menggunakan tarif pajak yang akan berlaku pada saat aktiva dipulihkan atau kewajiban dilunasi, yaitu dengan tarif pajak (peraturan pajak yang telah berlaku atau yang telah secara substantif berlaku pada tanggal neraca.

31
Aktiva dan kewajiban pajak, baik yang bersifat kini maupun tangguhan, dihitung dengan tarif pajak (dan peraturan pajak) yang telah berlaku. Apabila tarif pajak (dan peraturan) tersebut telah diumumkan oleh pemerintah maka dapat dianggap bahwa tarif (dan peraturan) tersebut telah secara substantif berlaku [walaupun berlakunya tarif (dan peraturan) tersebut secara efektif mungkin saja masih beberapa bulan sesudah pengumumannya]. Dalam hal tersebut aktiva dan kewajiba pajak harus dihitung dengan tarif pajak (dan peraturan pajak) baru yang telah dinyatakan berlaku.

32
Apabila tariff pajak yang berlaku berbeda untuk tingkat laba fisik yang berbeda maka aktiva dan kewajiban pajak tangguhan diukur dengan tarif pajak rata-rata yang akan dikenakan terhadap laba fiskal(rugi pajak) pada saat perbedaan temporer membalik(reverse).

33
Aktiva dan kewajiban pajak tangguhan harus mencerminkan konsekuensi pajak untuk pemulihan nilai tercatat aktiva atau penyelesaian kewajiban yang diharapkan perusahaan pada tanggal neraca.

34
Aktiva dan kewajiban pajak tangguhan tidak boleh didiskonto (discounted)

35
Nilai tercatat aktiva pajak tangguhan harus ditinjau kembali (pada tanggal neraca). Perusahaan harus menurunkan nilai tercatat tersebut apabila laba fiskal tidak mungkin memadai untuk mengkompensasi sebagian atau semua aktiva pajak tangguhan. Penurunan tersebut harus disesuaikan kembali apabila besar kemungkinan laba fiskal memadai.



Pengakuan Pajak Kini dan Pajak Tangguhan

36
Perlakuan akuntansi untuk pengaruh pajak kini dan pajak tangguhan yang berasal dari suatu transaksi atau kejadian harus selaras dengan perlakuan akuntansi untuk transaksi atau kejadian itu sendiri. Paragraf 43 menjelaskan penerapan prinsip tersebut.



Laporan Laba Rugi

37
Pajak kini dan pajak tangguhan diakui sebagai penghasilan atau beban pada laporan laba rugi peiode berjalan, kecuali untuk pajak penghasilan yang berasal dari :

a)
transaksi atau kejadian yang langsung dikreditkan atau dibebankan ke ekuitas pada periode yang sama atau periode yang berbeda (lihat paragraph 39 hingga 41) ; atau

b)
penggabungan usaha yang secara substansi adalah akuisisi (lihat paragraph 42 hingga 43);

38
Pada umumnya, aktiva dan kewajiban pajak tangguhan muncul karena penghasilan atau beban diakui dalam penghitungan laba akuntansi pada periode yang berbeda dari periode pengakuan penghasilan atau beban tersebut dalam penghitungan penghasilan kena pajak (rugi pajak). Pajak tangguhan yang berasal dari aktiva dan kewajiban pajak tangguhan tersebut diakui pada laporan laba rugi. Sebagai contoh adalah biaya pengembangan yang telah dikapitalisasi sesuai dengan PSAK 20 tentang Biaya Riset dan Pengembangan dan diamortisasi sebagai beban pada laporan laba rugi, namun untuk kepentingan pajak biaya tersebut dikurangkan dari penghasilan bruto untuk menentukan laba fiskal.

39
Nilai tercatat aktiva dan kewajiban pajak tangguhan mungkin berubah walaupun tidak ada perubahan jumlah perbedaan temporer yang terkait dengan aktiva dan kewajiban pajak tersebut . Perubahan tersebut mungkin berasal dari :

a)
perubahan tarif pajak atau peraturan pajak;

b)
pengkajian kembali nilai aktiva pajak tangguhan yang dapat dipulihkan;

c)
perubahan cara pemulihan suatu aktiva.

Pajak tangguhan yang berasal dari perubahan tersebut diakui pada laporan laba rugi, kecuali untuk transaksi-transaksi yang sebelumnya telah langsung dibebankan atau dikreditkan ke ekuitas (lihat paragraf 41)



Transaksi yang Langsung Dikreditkan atau Dibebankan ke Ekuitas

40
Pajak kini dan pajak tangguhan harus langsung dibebankan atau dikreditkan ke ekuitas apabila pajak tersebut berhubungan dengan transaksi yang langsung dikreditkan atau dibebankan ke ekuitas.

41
PSAK tertentu mengharuskan suatu transaksi untuk langsung dibebankan atau dikreditkan ke ekuitas. Contoh transaksi tersebut adalah :

a)
perubahan nilai tercatat akun aktiva tetap yang berasal dari revaluasi atau penilaian kembali, sesuai dengan PSAK 16 tentang Aktiva Tetap dan Aktiva Lain-lain;

b)
suatu penyesuaian saldo laba awal periode yang berasal dari perubahan kebijakan akuntansi yang diterapkan secara restrospektif atau dari koreksi kesalahan mendasar, sesuai dengan PSAK 25 tentang Laba atau Rugi untuk Periode Berjalan, Kesalahan Mendasar dan Perubahan Kebijakan Akuntansi; dan

c)
selisih kurs karena penjabaran laporan keuangan suatu entitas asing, sesuai dengan PSAK 11 tentang Penjabaran Laporan Keuangan dalam Mata Uang Asing.

42
Pada kasus tertentu, jumlah pajak kini dan pajak tangguhan yang berhubungan dengan transaksi-transaksi yang langsung dibebankan atau dikreditkan ke ekuitas, mungkin sulit ditentukan. Hal tersebut mungkin terjadi apabila :

a)
tarif pajak bersifat progresif dan tidak mungkin menentukan tarif pajak tertentu yang dikenakan pada komponen tertentu dari penghasilan kena pajak (rugi pajak);

b)
perubahan tarif pajak atau peraturan pajak yang mempengaruhi aktiva atau kewajiban pajak tangguhan (baik secara keseluruhan atau sebagian) yang berhubungan dengan transaksi-transaksi yang sebelumnya langsung dibebankan atau dikreditkan ke ekuitas; atau

c)
perusahaan memutuskan bahwa aktiva pajak tangguhan harus diakui atau tidak lagi diakui seluruhnya, dan aktiva pajak tangguhan tersebut berhubungan (secara keseluruhan atau sebagian) dengan transaksi-transaksi sebelumnya dibebankan atau dikreditkan ke ekuitas.

Pada kasus tersebut, jumlah pajak kini dan pajak yang berhubungan dengan transaksi-transaksi yang dikreditkan atau dibebankan ke ekuitas ditentukan dengan dasar alokasi proporsional (pro rata allocation) dari pajak kini dan pajak tangguhan atau metode lain yang menghasilkan alokasi yang lebih sesuai.

Pajak Tangguhan yang Berasal dari Penggabungan Usaha

43
Seperti dijelaskan pada paragraph 17 dan 21(b), perbedaan temporer mungkin timbul dari suatu penggabungan usaha yang secara substansi adalah akuisisi. Sesuai dengan PSAK 22 tentang Akuntansi Penggabungan Usaha, perusahaan mengakui setiap aktiva pajak tangguhan (apabila perbedaan temporer tersebut memenuhi kriteria pengakuan seperti tersebut pada paragraph 21) atau kewajiban pajak tangguhan pada tanggal akuisisi. Oleh karena itu, aktiva dan kewajiban pajak tangguhanterasebut mempengaruhi saldo goodwill atau goodwill negatif. Namun sesuai dengan paragarf 16(a) dan 21(a), perusahaan tidak mengakui kewajiban pajak yang berasal dari goodwill (apabila amortisasi goodwill tersebuit tidak dapt menjadi pengurang untuk penghitungan oajak)) dan juga tidak mengakui aktiva pajak tangguhan yang berasal dari goodwill negatif yang tidak dikenakan pajak dan yang diperlakukan sebagai pendapatan tangguhan(deferred income)

44
Apabila perusahaan pengakuisisi tidak mengakui aktiva pajak tangguhan dari perusahaan yang diakuisisi pada tanggal terjadinya penggabungan usaha dan apabila aktiva pajak tangguhan tersebut kemudian diakui pada laporan keuangan konsolidasi perusahaan pengakuisisi,penghasilan pajak tangguhan tersebut harus diakui pada laporan laba rugi. Di samping itu, perusahaan pengakuisisi :

a)
menyesuaikan nilai tercatat goodwilldan saldo amortisasi akumulasian menjadi jumlah yang seharusnya telah dicatat apabila aktiva pajak tangguhan telah diakui pada tanggal terjadinya penggabungan usaha; dan

b)
mengakui pengurangan nilai tercatat goodwill sebagai beban

c)
namun, perusahaan pengakuisisi tidak mengakui goodwill negatif, dan tidak juga menambah nilai tercatat goodwill negatif

Penyajian

Aktiva Pajak dan Kewajiban Pajak

45
Aktiva pajak dan kewajiban pajak harus disajikan terpisah dari aktiva dan kewajiban lainnya dalam neraca. Aktiva pajak tangguhan harus dibedakan dari aktiva pajak kini dan kewajiban pajak kini.

46
Apabila dalam laporan keuangan suatu perusahaan, aktiva dan kewajiban lancar disajikan terpisah dari aktiva dan kewajiban tidak lancar maka aktiva (kewajiban) pajak tangguhan tidak boleh disaijkan sebagai aktiva(kewajiban) lancar.

Saling Menghapuskan (Offset)

47
Aktiva pajak kini harus dikompensasi (offset) dengan kewajiban pajak kini dan jumlah netonya harus disajikan pada neraca.

Beban Pajak

Beban (Penghasilan) Pajak yang Berhubungan dengan Laba atau Rugi dari Aktivitas Normal

48
Beban (penghasilan) pajak yang berhubungan dengan laba atau rugi dari aktivitas normal harus disajikan tersendiri pada laporan laba rugi.

Selisih Kurs dari Penjabaran Aktiva atau Kewajiban Pajak Tangguhan yang Berasal dari Luar Negeri

49
Walaupun PSAK 11 tentang Penjabaran Laporan Keuangan dalam Mata Uang Asing, mengharuskan selisih kurs (exchange difference) tertentu diakui sebagai pendapatan atau beban namun Standard tersebut tidak mengatur pada elemen apakah selisih kurs tersebut harus disajikan dalam laporan laba rugi. Oleh karena itu, selisih kurs dari penjabaran aktiva atau kewajiban pajak tangguhan yang berasal dari penjabaran laporan keuangan entitas asing boleh dikelompokkan ke beban (penghasilan) pajak tangguhan jika penyajian itu dianggap paling bermanfaat untuk pemakai laporan keuangan.

Pajak Penghasilan Final

50
Apabila nilai tercatat aktiva atau kewajiban yang berhubungan dengan pajak penghasilan final berbeda dari DPP-nya maka perbedaan tersebut tidak diakui sebagai aktiva atau kewajiban pajak tangguhan.

51
Sesuai dengan peraturan perundangan perpajakan, penghasilanyang telah dikenakan PPh Final tidak lagi dilaporkan sebagai penghasilan kena pajak, semua beban sehubungan dengan penghasilan yang telah dikenakan PPh Final tidak boleh dikurangkan. Di lain pihak, baik pendapatan maupun beban tersebut dipakai dalam penghitungan laba rugi menurut akuntansi. Oleh karena itu, tidak terdapat perbedaan temporer sehingga tidak diakui adanya aktiva atau kewajiban pajak tangguhan.

52
Atas penghasilan yang telah dikenakan PPh Final, beban pajak diakui proporsional dengan jumlah pendapatan menurut akuntansi yang diakui pada periode berjalan.

53
Selisih antara jumalh PPh Final yang terhutang dengan jumlah yang dibebankan sebagai pajak kini pada perhitungan laba rugi diakui sebagai Pajak Dibayar Dimuka dan Pajak yang Masih Harus Dibayar .

54
Akun Pajak penghasilan final dibayar di muka harus disajikan terpisah dari pajak penghasilan final yang masih harus dibayar.

Perlakuan Akuntansi untuk Hal-hal Khusus

55
Jumlah tambahan pokok dan denda pajak yang ditetapkan dengan Surat Ketetapan Pajak (SKP) harus dibebankan sebagai pendapatan atau beban lain-lain pada Laporan Laba Rugi periode berjalan, kecuali apabila diajukan keberatan dan atau banding. Jumlah tambahan pokok pajak dan denda yang ditetapkan ddengan SKP ditangguhkan pembebanannya. Apabila terdapat kesalahan mendasar maka perlakuan akuntansinya mengacu pada PSAK 25 tentang Laba atau Rugi Bersih untuk Periode Berjalan, Kesalahan Mendasar dan Perubahan Kebijakan Akuntansi.

Pengungkapan

56
Hal-hal berikut ini harus diungkapkan :

a)
unsur-unsur utama beban(penghasilan) pajak ;

b)
jumlah pajak kini dan pajak tangguhan yang berasal dari transaksi-transaksi yang langsung dibebankan atau dikreditkan ke ekuitas ;

c)
beban (penghasilan) pajak yang berasal dari pos-pos luar biasa yang diakui pada periode berjalan

d)
penjelasan mengenai hubungan antara beban (penghasilan) pajak dan laba akuntansi dalam salah satu atau kedua bentuk ini:

i)
rekonsiliasi antara beban (penghasilan pajak dengan hasil perkalian laba akuntansi dan tarif pajak yang berlaku, dengan mengungkapkan dasar penghitungan tarif pajak yang berlaku ; atau

ii)
rekonsiliasi antara tarif pajak efektif rata-rata (average effective tax rate) dan tarif pajak yang berlaku dengan mengungkapkan dasar penghitungan tarif pajak yang berlaku ;

e)
penjelasan mengenai perubahan tarif pajak yang berlaku dan perbandingan dengan tarif pajak yang berlaku pada periode akuntansi sebelumnya ;

f)
jumlah (dan batas waktu penggunaan, jika ada) perbedaan temporer yang boleh dikurangkan dan sisa rugi yang dapat dikompensasi ke tahun berikut, yang tidak diakui sebagai aktiva pajak tangguhan pada neraca;

g)
untuk setiap kelompok perbedaan temporer dan untuk setiap kelompok rugi yang dapat dikompensasi ke tahun berikut :

i)
jumlah aktiva dan kewajiban pajak tangguhan yang diakui pada neraca untuk setiap periode penyajian;

ii)
jumlah beban (penghasilan) yang diakui pada laporan laba rugi apabila jumlah tersebut tidak terlihat dari perubahan jumlah aktiva atau kewajiban pajak tangguhan yang diakui pada neraca; dan

h)
untuk operasi yang tidak dilanjutkan, beban pajak yang berasal dari :

i)
keuntungan atau kerugian atas penghentian operasi; dan

ii)
laba atau rugi dari aktivitas normal operasi yang tidak dilanjutkan untuk periode pelaporan, bersama dengan jumlah periode akuntansi sebelumnya yang disajikan pada laporan keuangan.

57
Unsur-unsur beban(penghasilan) pajak mencakup :

a)
beban(penghasilan) pajak kini

b)
penyesuaian yang diakui pada periode berjalan atas pajak kini yang berasal dari periode sebelumnya;

c)
jumlah beban (penghasilan )pajak tangguhan baik yang berasal dari timbulnya perbedaan temporer maupun dari realisasinya;

d)
jumlah beban (penghasilan )pajak tangguhan yang berasal dari perubahan tarif pajak atau peraturan perpajakan yang baru

e)
jumlah manfaat dari rugi pajak atau perbedaan temporer periode sebelumnya yang belum diakui, yang digunakan sebagai pengurang beban pajak kini;

f)
jumlah manfaat dari rugi pajak atau perbedaan temporer periode sebelumnya yang diakui, yang digunakan sebagai pengurang beban pajak tangguhan; dan

g)
beban pajak tangguhan yang berasal dari penurunan (write down), atau penyesuaian kembali (reversal) penurunan periode sebelumnya dari aktiva pajak tangguhan.

58
Perusahaan harus mengungkapkan jumlah aktiva pajak tangguhan dan sifat bukti yang mendukung pengakuannya, jika:

a)
penggunaan aktiva pajak tangguhan tergantung pada apakah laba fiskal yang dapat dihasilkan pada periode mendatang melebihi laba dari realisasi perbedaan temporer kena pajak yang telah ada; dan

b)
perusahaan menderita kerugian pada periode berjalan atau periode sebelumnya.

59
Perusahaan mengungkapkan sifat dan jumlah setiap pos luar biasa pada laporan laba rugi atau catatan atas laporan keuangan. Apabila sifat dan jumlah setiap pos luar biasa diungkapkan pada catatan atas laporan keuangan, maka jumlah semua pos luar biasa diungkapkan pada laporan laba rugi sebesar nilai netonya setelah dikurangi dengan beban (penghasilan) pajak terkait. Walaupun pemakai laporan keuangan dapat menganggap pengungkapan beban (penghasilan) pajak yang berhubungan dengan setiap pos luar biasa sebagai informasi yang bermanfaat, namun penyusun laporan keuangan sering mengalami kesulitan untuk menyajikan informasi mengenai alokasi beban(penghasilan) pajak yang berhubungan dengan pos-pos luar biasa dapat disajikan secara total (aggregate).

60
Pengungkapan seperti tersebut pada paragraph 57(d) memungkinkan pemakai laporan keuangan memahami kewajaran hubungan antara beban (penghasilan) pajak dan laba akuntansi dan memahami faktor-faktor signifikan yang mungkin mempengaruhi hubungan tersebut pada masa mendatang. Hubungan beban (penghasilan) pajak dan laba akuntansi dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut ini :
pendapatan tidak kena pajak , beban yang tidak boleh dikurangkan dalam penghitungan penghasilan kena pajak (rugi pajak), pengaruh kompensasi, dan pengaruh tarif pajak luar negeri.

61
Untuk menjelaskan hubungan antara beban(penghasilan) pajak dan laba akuntansi, perusahaan menggunakan tariff pajak yang berlaku untuk menyajikan informasi yang paling bermanfaat bagi pemakai laporan keuangan.

62
Tarif pajak efektif rata-rata sama dengan hasil bagi beban (penghasilan) pajak dengan laba akuntansi.

63
Perusahaan mengungkapkan keuntungan dan kerugian kontinjen sesuai dengan PSAK 8 tentang Kontinjensi dan Peristiwa Setelah Tanggal Neraca. Sebagai contoh, keuntungan dan kerugian kontinjen dapat timbul dari perselisihan yang belum terselesaikan. Demikian pula apabila perubahan tarif pajak atau peraturan pajak secara efektif berlaku atau diumumkan setelah tanggal neraca, perusahaan mengungkapkan pengaruh signifikan perubahan tersebut terhadap aktiva dan kewajiban pajak kini dan tangguhan.


PERNYATAAN STANDARD AKUNTANSI KEUANGAN NO. 46 AKUNTANSI PAJAK PENGHASILAN

Pernyataan Standard Akuntansi No.46 terdiri dari paragraph 64-86. Pernyataan ini harus dibaca dalam konteks paragraph 01-63.
Pengakuan Aktiva Pajak kini (Current Tax Assets) dan Kewjiban Pajak Kini (Current Tax Liabilities)

64
Jumlah pajak kini yang belum dibayar harus diakui sebagai kewajiban. Apabila jumlah pajak yang telah dibayar untuk periode berjalan dan periode-periode sebelumnya melebihi jumlah pajak yang terutang untuk periode-periode tersebut, maka selisihnya diakui sebagai aktiva.

Pengakuan Aktiva Pajak Tangguhan (Deferred Tax Assets) dan Kewajiban Pajak Tangguhan (Deferred Tax Liabilities)

Perbedaan Temporer Kena Pajak (Taxable Temporary Differences)

65
Semua perbedaan temporer kena pajak diakui sebagai kewajiban pajak tangguhan, kecuali jika timbul perbedaan temporer kena pajak :

a)
dari goodwill yang amortisasinya tidak dapat dikurangkan untuk tujuan fiskal; atau

b)
pada saat pengakuan awal aktiva atau kewajiban dari suatu transaksi yang :

i)
bukan transaksi penggabungan usaha; dan

ii)
pada saat transaksi, tidak mempengarui laba akuntansi dan laba fiskal.

Perbedaan Temporer yang Boleh Dikurangkan (Deductible Temporary Differences)

66
Aktiva pajak tangguhan (deferred tax assets) diakui untuk seluruh perbedaan temporer yang boleh dikurangkan, sepanjang besar kemungkinan perbedaan temporer yang boleh dikurangkan tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengurangi laba fiskal pada masa yang akan datang, kecuali aktiva pajak tangguhanyang timbul dari :

a)
goodwill negatif yang diakui sebagai pendapatan tangguhan sesuai dengan PSAK 22 tentang Akuntansi Penggabungan Usaha; atau

b)
pengakuan awal aktiva atau kewajiban pada suatu transaksi yang :

i)
bukan transaksi penggabungan usaha; dan

ii)
tidak mempengaruhi baik laba akuntansi maupun laba fiskal.



Saldo Rugi Fiskal yang Dapat Dikompensasi

67
Saldo rugi fiskal yang dapat dikompensasi diakui sebagai aktiva pajak tangguhan apabila besar kemungkinan bahwa laba fiskal pada masa ynag akan datang memadai untuk dikompensasi.

Pengukuran

68
Kewajiban (aktiva) pajak kini untuk periode berjalan dan periode sebelumnya, diakui sebesar jumlah pajak terhutang (restitusi pajak), yang dihitung dengan menggunakan tarif pajak (peraturan pajak) yang berlaku atau yang telah secara substansif berlaku pada tanggal neraca.

69
Aktiva dan kewajiban pajak tangguhan harus diukur dengan menggunakan tariff pajak yang akan berlaku pada saat aktiva dipulihkan atau kewajiban dilunasi, yaitu dengan tarif pajak (peraturan pajak )yang telah berlaku atau secara subtansif berlaku pada tanggal neraca

70
Aktiva dan kewajiban pajak tangguhan harus mencerminkan konsekuensi pajak untuk pemulihan nilai tercatat aktiva atau penyelesaian kewajiban yang diharapkan perusahaan pada tanggal neraca.

71
Aktiva dan kewajiban pajak tangguhan tidak boleh didiskonto(discounted)

72
Nilai tercatat aktiva pajak tangguhan harus ditinjau kembali (pada tanggal neraca). Perusahaan harus menurunkan nilai tercatat tersebut apabila laba fiskal tidak mungkin memadai untuk mengkompensasi sebagian atau semua aktiva pajak tangguhan. Penurunan tersebut harus disesuaikan kembali apabila besar kemungkinan laba fiskal memadai.

Laporan Laba Rugi

73
Pajak kini dan pajak tangguhan diakui sebagai penghasilan atau beban pada laporan laba rugi periode berjalan, kecuali untuk pajak penghasilan yang berasal dari:

a)
transaksi atau kejadian yang langsung dikreditkan atau dibebankan ke ekuitas pada periode yang sama atau periode yang berbeda (lihat paragraph 39 hingga 41 ); atau

b)
penggabungan usaha yang secara substansi adalah akuisisi (lihat paragraph 42 hingga 43)



Transaksi yang Langsung Dikreditkan atau Dibebankan ke Ekuitas

74
Pajak kini dan pajak tangguhan harus langsung dibebankan atau dikreditkan ke ekuitas apabila pajak tersebut berhubungan dengan transaksi yang langsung dikreditkan atau dibebankan ke ekuitas.

Penyajian

Aktiva Pajak dan Kewajiban Pajak

75
Aktiva Pajak dan kewajiban harus disajikan terpisah dari aktiva dan kewajiban lainnya dalam neraca. Aktiva pajak tangguhan dan kewajiban pajak tangguhan harus dibedakan dari aktiva dan kewajiban pajak kini.

76
Apabila dalam laporan keuangan suatu perusahaan ,aktiva dan kewajiban lancar disajikan terpisah dari aktiva dan kewajiban tidak lancar maka aktiva(kewajiban) pajak tangguhan tidak boleh disajikan sebagai aktiva (kewajiban) lancar.

Saling Menghapuskan (Offset)

77
Aktiva pajak kini harus dikompensasi(offset) dengan kewajiban pajak kini dan jumlah netonya harus disajikan pada neraca.


Beban Pajak

Beban (penghasilan) Pajak yang Berhubungan dengan Laba atau Rugi dari Aktivitas Normal

78
Beban (penghasilan) pajak yang berhubungan dengan laba atau rugi dari aktivitas normal harus disajikan tersendiri pada laporan laba rugi.

Pajak Penghasilan Final

79
Apabila nilai tercatat aktiva atau kewajiban yang berhubungan dengan pajak penghasilan final berbeda dari DPP-nya maka perbedaan tersebut tidak boleh diakui sebagai aktiva atau kewajiban pajak tangguhan.

80
Atas penghasilan yang telah dikenakan PPh Final, beban pajak dakui proporsional dengan jumlah pendapatan menurut akuntansi yang diakui pada periode berjalan.

81
Selisih antara jumlah PPh Final yang terhutang dengan jumlah yang dibebankan sebagai pajak kini pada perhitungan laba rugi diakui sebagi Pajak Dibayar Dimuka dan Pajak yang Masih Harus Dibayar

82
Akun Pajak penghasilan final dibayar di muka harus disajikan terpisah dari pajak penghasilan final yang masih harus dibayar.

Perlakuan Akuntansi untuk Hal-hal Khusus

83
Jumlah tambahan pokok dan denda pajak yang ditetapkan dengan Surat Ketetapan Pajak (SKP) harus dibebankan sebagai pendapatan atau beban lain-lain pada Laporan Laba Rugi periode berjalan, kecuali apabila diajukan keberatan dan atau banding. Jumlah tambahan pokok pajak dan denda yang ditetapkan dengan SKP ditangguhkan pembebanannya. Apabila terdapat kesalahan mendasar maka perlakuan akuntansinya mengaku pada PSAK 25 tentang Laba atau Rugi Bersih untuk Periode Berjalan, Kesalahan Mendasar dan Perubahan Kebijakan Akuntansi.

Pengungkapan

84
Hal-hal berikut ini harus diungkapkan :

a)
unsur-unsur utama beban (penghasilan) pajak;

b)
jumlah pajak kini dan pajak tangguhan yang berasal dari transaksi-transaksi yang langsung dibebankan atau dikreditkan ke ekuitas;

c)
beban (penghasilan) pajak yang berasal dari pos-pos luar biasa yang diakui pada periode berjalan

d)
penjelasan mengenai hubungan antara beban (penghasilan) pajak dan laba akuntansi dalam salah satu atau kedua bentuk berikut ini :

i)
rekonsiliasi antara beban (penghasilan) pajak dengan hasil perkalian laba akuntansi dan tarif pajak yang berlaku, dengan mengungkapkan dasar penghitungan tarif pajak yang berlaku; atau

ii)
rekonsiliasi antara tarif pajak efektif rata-rata (average effective tax rate) dan tarif pajak yang berlaku, dengan mengungkapkan dasar penghitungan tarif pajak yang berlaku.

e)
penjelasan mengenai perubahan tariff pajak yang berlaku dan perbandingan dengan tariff pajak pada periode akuntansi sebelumnya;

f)
jumlah (dan batas waktu penggunaan, jika ada) perbedaan temporer yang boleh dikurangkan dan sisa rugi yang dapat dikompensasi ke periode berikut, yang tidak diakui sebagai aktiva pajak tangguhan pada neraca;

g)
untuk setiap kelompok perbedaan temporer dan untuk setiap kelompok rugi yang dapat dikompensasi ke tahun berikut :

i)
jumlah aktiva dan kewajiban pajak tangguhan yang diakui pada neraca untuk setiap periode penyajian;

ii)
jumlah beban (penghasilan) pajak tangguhan yang diakui pada laporan laba rugi apabila jumlah tersebut tdak terlihat dari perubahan jumlah aktiva atau kewajiban pajak tangguhan yang diakui pada neraca; dan

h)
untuk operasi yang tidak dilanjutkan, beban pajak yang berasal dari :

i)
keuntungan atau kerugian atas penghentian operasi; dan

ii)
laba atau rugi dari aktivitas normal operasi yang tidak dilanjutkan untuk periode pelaporan, bersama dengan jumlah periode akuntansi sebelumnya yang disajikan pada laporan keuangan.

85
Perusahaan harus mengungkapkan jumlah aktiva pajak tangguhan dan sifat bukti yang mendukung pengakuannya, jika :

a)
penggunaan aktiva pajak tangguhan tergantung pada apakah laba fiskal yang dapat dihasilkan pada periode mendatang melebihi laba dari realisasi perbedaan temporer kena pajak yang telah ada; dan

b)
perusahaan telah menderita kerugian pada periode berjalan atau periode sebelumnya.

Tanggal Berlaku Efektif

86
Pernyataan ini efektif berlaku untuk penyusunan laporan keuangan yang mencakup periode laporan yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 Januari 1999 bagi perusahaan yang menerbitkan surat-surat berharga yang diperdagangkan kepada publik, sedang bagi perusahaan lainnya dimulai pada atau setelah 1 Januari 2001. Penerapan lebih dini sangat dianjurkan .

Sabtu, 17 Januari 2009

Buku Akuntansi Syariah

Insya Allah saya akan menerbitkan buku AKUNTANSI SYARIAH: Teori, Konsep Dasar dan Laporan Keuangan, terbitan E-Publishing Company Jakarta. Launching perdana rencananya akan dilaksanakan Awal Pebruari 2009 bersamaan dengan pendirian lembaga think-thank ekonomi Islam, Center for Study of Islamic Economics (CSIE) di Jakarta.

Buku kedua tersebut akan melengkapi gagasan-gagasan awal saya mengenai perlunya Akuntansi Islam atau Akuntansi Syariah yang memiliki Koeksistensi Universalitas Islam dan Keindonesiaan. Secara umum buku baru ini merupakan jawaban atas pertanyaan mendasar:

“Apakah akuntansi Islam atau juga biasa disebut akuntansi syariah memang memiliki jiwa asalinya, memiliki jiwa universal sekaligus lokal?”

Universalitas berkenaan dengan akuntansi merupakan bangunan keilmuan yang diturunkan dari nilai nilai universal Islam. Sedangkan Lokalitas berkenaan dengan akuntansi sebagai ilmu tidak mungkin bebas nilai, lepas dari nilai-nilai budaya, religius, etis dan lokal.

Dalam buku tersebut akan diperlihatkan secara utuh bahwa aspek budaya, sosial, religius, etis, dan loikal sangat mempengaruhi bentuk dan “taste” akuntansi yang memiliki koeksistensi nilai universalitas Islam sekaligus nilai lokal khas Indonesia. Akuntansi syariah ber-”jiwa” universal sekaligus lokal tak dapat dipungkiri telah menjadi potret differensiasi atas akuntansi Barat yang selama ini selalu dan “sengaja” dipaksakan sebagai bebas nilai dan dapat digunakan dimanapun akuntansi diterapkan.

Buku Kedua Akuntansi Syariah ini akan memunculkan gagasan-gagasan baru. Gagasan tersebut mulai dari tujuan akuntansi syariah, konsep dasar teoritis akuntansi syariah, tujuan laporan keuangan akuntansi syariah, prinsip-prinsip dan karakter laporan keuangan syariah, sampai dengan bentuk laporan keuangan syariah yang saya sebut sebagai TRILOGI LAPORAN KEUANGAN SYARIAH. by Aji

Agresi Israel terhadap Palestina

A. RESOLUSI DEWAN HAM PBB: (1) Israel melakukan pelanggaran HAM massal terhadap Palestina; (2) Segera bentuk misi internasional untuk menginvestigasi tindakan Israel.

B. MAJELIS PARLEMEN ASIA (APA): (1) Sepakat membentuk tim pencari fakta untuk menginvestigasi dampak agresi dan kejahatan perang yang dilakukan Israel; (2) Mengajukan pemimpin Israel ke Mahkamah Internasional, karena melakukan kejahatan perang.

C. HUMAN RIGHTS WATCH: Israel harus diinvestigasi karena melakukan kejahatan perang.

D. KOMISI HAM INDEPENDEN: Yang terjadi di Gaza adalah kejahatan melawan kemanusiaan (crime against humanity).

E. PRESIDEN MAJELIS UMUM PBB, MIGUEL D’ESCOTO BROCKMANN: Jumlah korban di Gaza terus meningkat dari hari ke hari. Ini tak bisa dibiarkan. Ini Genosida.

Sumber: Republika edisi cetak Kamis, 15 Desember 2009

Antara Teknologi dan Insting

Tanggal 14 Januari 2009 jam 11.30 saya sedang melihat berita di televisi mengenai perkembangan proses penyelamatan korban KM Teratai Prima yang tenggelam pda Senin 12 Januari 2009 di Perairan Majene Sulbar. Keluarga dan kerabat yang menjadi korban siang itu melakukan protes karena sampai berita tersebut diturunkan ternyata tidak menyelamatkan seorangpun korban. Mereka kecewa atas kinerja dan profesionalitas penyelamatan korban yang tidak menghasilkan apa-apa. Seluruh korban yang selamat diklaim penduduk dan keluarga korban diselamatkan oleh para nelayan setempat dan bahkan ada yang ditemukan oleh kapal yang kebetulan lewat di perairan Majene.

Seperti diketahui TIM SAR pasti dilengkapi peralatan dan perlengkapan dengan teknologi canggih. Di sisi lain, nelayan tidaklah memiliki peralatan dan perlengkapan seperti TIM SAR. Nelayan hanyalah mengandalkan insting dan intuisi nelayan. Hasilnya nelayan lebih banyak menemukan korban. Jadi, yang perlu dievaluasi pemerintah dan TIM SAR mungkin adalah bukan hanya ketrampilan dan kemampuan teknis menggunakan perangkat elektronik dan teknologi pelayaran dan atau penyelamatan yang canggih. Lebih penting lagi adalah TIM SAR harus mulai menyusun ulang dan melatih para tenaga profesionalnya untuk menggali intuisi dan instingnya. hehehe gitu kali ya… gak ngerti juga deh…

by ajidedim in teknologi.

SCIENCE WAR DAN PARADIGMA ILMU

Refleksi Atas Pendekatan Sosiologi dalam Ilmu Akuntansi1

Kesejukan adalah indahnya ucapan…
Keindahan adalah santunnya diri…

1. Pendahuluan
Diskursus akuntansi sebagai ilmu hingga saat ini memang masih menyisakan beberapa pertanyaan mendasar. Mulai dari apakah ilmu akuntansi bebas nilai (value free) atau sarat nilai (value laden)? Apakah ilmu akuntansi obyektif atau subyektif? Apakah ilmu akuntansi memang tidak bisa lari dari kenyataan bahwa dia berada dalam genggaman positivisme atau harus memiliki keragaman cara pandang? Apakah ilmu akuntansi memang perlu atau tidak perlu dekat dengan realitas budaya, spiritualitas, religiusitas? Dan lain sebagainya, dan lain sebagainya, dan lain sebagainya.

Pertanyaan-pertanyaan mendasar positioning akuntansi tersebut memang tidak dapat dihindari, ketika akuntansi dipahami sebagai ilmu. Diskursus semacam itu bukanlah khas akuntansi, tetapi memang khas ketika akuntansi dipandang bukan hanya sebagai praktik ataupun hasil dari perekayasaan ilmu atau teknologi. Ketika akuntansi telah masuk dalam koridor keilmuan (science), maka akuntansi secara langsung telah memasuki pula “ruang permainan” science itu sendiri, yaitu apa yang dinamakan dengan Science War.

2. Science War dan Pendekatan Paradigmatik Ilmu

Science War atau perang ilmu muncul pertama kali sebagai wacana ilmiah resmi dan terpublikasi dalam edisi khusus jurnal ilmiah Social Text tahun 1995. Meskipun perbincangan dan saling kritik antara sudut pandang epistmologis ilmu juga telah berlangsung setahun sebelumnya ketika Paul Gross dan Norman Levitt menerbitkan buku berjudul “Higher Superstition: The Academic Left and its Quarrels with Science“. Gross dan Levitt di buku tersebut menjelaskan bahwa telah terjadi tarik menarik antara ilmuwan mainstream yang dimotori oleh scientist Amerika yang telah dikritik habis-habisan oleh ilmuwan kritis, karena ilmu telah dibawa oleh para aliran mainstream dalam koridor “politik dan ekonomi”, seperti industri senjata untuk kepentingan perang atau eksploitasi sumber daya alam dan ekonomisasi teknologi untuk kepentingan perusahaan multinasional (Sardar 2002).

Tujuan penerbitan edisi khusus Science War sendiri sebenarnya adalah untuk menjawab serangan para ilmuwan kritis/postmodernis (dalam jurnal tersebut disebut sebagai gerakan anti ilmu) atas kecurigaan mereka berkenaan dengan penyimpangan yang telah terjadi pada ilmu mainstream karena telah “ditunggangi” oleh “rejim maskulin”, “penerus kapitalisme” lewat empirisisme ilmiah dan berbagai dampak dektruktif ilmu terhadap masyarakat dan lingkungan (Sardar 2002).

Setahun kemudian (1996) Social Text memunculkan tulisan Alan D. Sokal, professor Fisika dari New York University, berjudul “Transgressing the Boundaries: Toward a Transformative Hermeneutics of Quantum Gravity”. Tulisan tersebut merupakan bantahan dan mungkin pantas disebut sebagai “olokan” yang tidak ilmiah sama sekali atas makin berkembangnya pemikiran baru di “luar” mainstream ilmu, postmodernisme, sebagai tak bernyawa “ilmu”. Media Lingua Franca edisi Mei-Juni 1996 memuat pengakuan Sokal bahwa naskahnya yang diterbitkan Social Text adalah olok-olok untuk memperdayai aliran di luar mainstream keilmuan. Hasilnya, naskah Sokal banyak mendapat cemoohan baik di kalangan akademisi mainstream sendiri maupun akademisi kritis di seluruh dunia, karena sarat dengan konsep-konsep konyol yang tak punya nilai secara ilmiah, tetapi terkesan “provokatif”, “liar”, dan emosional dari segi retorika (Arsuka 2000, Leksono 2000).

Science War menurut Sardar (2002) ternyata tidak baru terjadi tahun 1995-1996 tetapi merupakan “warisan lama” tak lekang zaman. Perang epistemologis ilmu bila kita tarik ke belakang, juga telah disikapi oleh Thomas Kuhn tahun 1960-an ketika memunculkan istilah Paradigm di bukunya yang berjudul The Structure of Scientific Revolutions, sebagai jawaban atas “pergolakan ilmu” (Science War) yang sedang terjadi saat itu. Science War menurut ilmuwan yang mendalami studi Sejarah Ilmu ini, dimulai awal abad 20, ketika ilmuwan fisika mulai terlibat dalam eksperimen untuk industri dan militer. Kemudian berkembang pada Science War II, ketika ilmu masuk dalam tataran ideology, dengan berkembangnya “ilmu sosialis”, yang merupakan implementasi pemikiran Marxism, sebagai antitesis “ilmu borjuis” (kapitalisme). Di antara pertentangan dua kutub inilah Thomas Kuhn memunculkan paradigma.

3. Paradigma dan Kemungkinan Integrasi Paradigmatik

Tujuan utama Kuhn adalah untuk menantang asumsi yang berlaku umum di kalangan ilmuwan mengenai perkembangan ilmu pengetahuan. Kalangan ilmuwan pada umumnya berpendirian bahwa perkembangan atau kemajuan ilmu pengetahuan itu terjadi secara kumulatif. Inti tesis Kuhn adalah bahwa perkembangan ilmu pengetahuan bukanlah terjadi secara kumulatif tetapi terjadi secara revolusi. Pendekatan revolusionis yang merupakan inti dari konsep paradigma adalah bentuk reaksi terhadap tafsir Whig atas sejarah. Sejarah adalah progresi kebebasan secara linier yang kian meningkat dan berpuncak pada masa kini (Sardar 2002).

Kritik mendalam Kuhn adalah pada metode ilmiah (mulai dari observasi, eksperimentasi, deduksi dan konklusi yang diidealisasikan). Dasar klaim ilmu yang obyektif dan universal menurutnya sebagai ilusi. Kuhn menyatakan paradigmalah yang menentukan jenis-jenis eksperimen ilmuwan, jenis-jenis pertanyaan yang diajukan dan masalah yang mereka anggap penting. Tanpa paradigma tertentu para ilmuwan bahkan tak bisa mengumpulkan ‘fakta’. Pergeseran paradigma mengubah konsep-konsep dasar yang melandasi riset dan mengilhami standar-standar pembuktian baru, teknik-teknik riset baru serta jalur-jalur teori dan eksperimen baru yang secara radikal ‘tidak bisa dibandingkan lagi’ dengan yang lama (Sardar 2002).

Makna munculnya konsepsi revolusi dalam ilmu adalah perang ilmu yang terjadi sepanjang sejarah untuk menetapkan kekuatan ilmu yang berada pada sisi satu sama lainnya. Tarik menarik ini (antara ilmu yang evolutif dan revolutif) telah menjadi tradisi yang tak kunjung selesai. Dan sebenarnya pula pikiran Kuhn bukan menolak tradisi ilmu yang telah mapan dan juga tidak menolak tradisi ilmu yang berkembang yang tidak muncul secara evolutif, tetapi terdapat kemungkinan revolusi di dalamnya. Meskipun Kuhn menunjukkan bahwa normal science adalah bentuk dogmatis paradigma tertentu. Hal ini ditunjukkan dalam proses terjadinya revolusi ilmu yang tidak terjadi secara langsung, tetapi melalui beberapa proses.

Dari proses di atas terlihat bahwa perubahan dari paradigma pertama menuju paradigma kedua, ilmu yang telah mapan (normal science) menempati paradigma pertama, adalah periode akumulasi ilmu pengetahuan di mana para ilmuwan bekerja dan mengembangkan paradigma yang sedang berpengaruh. Namun para ilmuwan tidak dapat mengelakkan pertentangan dengan pernyimpangan yang terjadi (anomalies) karena Paradigma I tidak mampu memberikan penjelasan terhadap persoalan yang timbul secara memadai.Selama penyimpangan memuncak, suatu krisis akan muncul dan paradigma itu sendiri mulai disangsikan validitasnya. Bila krisis sudah sedemikian seriusnya maka suatu revolusi akan terjadi dan paradigma baru akan muncul yang dianggap mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi persoalan paradigma sebelumnya.

Usulan menarik dari Ritzer (2003) berkenaan “jalan damai” yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan Science War maupun Pemisahan Paradigmatik Ilmu adalah dengan melakukan Integrasi Paradigma. Menurutnya, masing-masing paradigma tidak harus dihilangkan atau saling mereduksi, sepanjang tiap paradigma memang memberikan solusi sesuai posisinya masing-masing. Di samping tetap menghargai kemajemukan dan peran masing-masing, Ritzer menginginkan adanya integrasi paradigmatik. Integrasi merupakan salah satu cara untuk melengkapi paradigma yang ada dan bukan dimaksudkan untuk menciptakan posisi hegemoni baru.

Kunci utama integrasi paradigmatik ada pada gagasan mengenai tingkat analisis sosial. Seperti diketahui bahwa kehidupan sosial tidaklah terbagi dalam koridor-koridor seperti gambaran Burell dan Morgan (1979) misalnya. Realitas sosial sebenarnya merupakan fenomena beragam dan selalu terjadi interaksi dan selalu berubah. Individu, kelompok, keluarga, birokrasi, pemerintahan, kota, desa, negara dan berbagai fenomena lain tersebut mencerminkan deretan fenomena tak terstruktur teratur, yang dengan keunikannya tersebut membentuk kehidupan sosial. Untuk memahaminya jelas diperlukan sejumlah skema konseptual sedemikian rupa, sehingga realitas dapat dijelaskan secara baik dan apabila perlu mendekati keutuhan realitas itu sendiri. Bagaimana bentuknya? Ritzer sendiri belum memberikan koridor baru yang dapat diimplementasikan. Usulan integrasi paradigmatik dari Ritzer mungkin saja dapat dilakukan, meskipun hal itu masih berwujud wacana yang sulit terealisasi dalam waktu dekat. Bahkan yang terjadi saat ini adalah makin beragamnya pendekatan paradigmatik atas ilmu itu sendiri.

4. Refleksi Paradigmatik: Adakah Jalan Lain di luar Barat?
Bila kita lihat lebih jauh, pengembangan ilmu dan teknologi merupakan salah satu bentuk konkrit manusia untuk memuaskan sifat ingin tahu dirinya dan harapan hidup lebih baik. Pengembangan ilmu berkenaan dengan pemuasan sifat ingin tahu manusia, sedangkan pengembangan teknologi berkenaan dengan implementasi ilmu untuk memberikan harapan hidup lebih baik dari sebelumnya. Rasa ingin tahu dan hidup lebih baik inilah yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lain. Sensibilitas ingin tahu dan lebih baik ini pula yang kemudian merasuki ranah pemikiran dan membentuk apa yang dapat disebut sebagai progresifitas sifat dasar kemanusiaan (nature of progressivity of human being) dalam ranah ilmu dan teknologi (Mulawarman 2009, Forthcoming).

Progresifitas dapat berbentuk meneruskan perkembangan ilmu dan teknologi yang telah ada. Progresifitas juga dapat berbentuk menemukan ilmu dan berdampak pada bentuk teknologi yang baru. Progresifitas untuk meneruskan perkembangan ilmu dan teknologi biasanya berhubungan dengan pembuktian-pembuktian teoritis maupun empiris serta pengembangan teknologi dari hasil-hasil keilmuan yang lebih maju. Bentuk seperti ini mensyaratkan adanya kesamaan values (nilai-nilai) yang mendasari ilmu maupun teknologi, baik values dari ilmu itu sendiri, values yang melingkupi alam pikiran ilmuwan maupun lingkungan/masyarakatnya (Mulawarman 2009, Forthcoming).

Tidak salah bila Soedjatmoko (1986, 37) menekankan bawah aplikasi ilmu dan riset tidak dapat lepas dari basic values system masyarakatnya, bahkan untuk bekerja dengan hasil yang baik itupun harus dianggap dan diterima sebagai suatu value tersendiri. Progresifitas atau dikatakan Soedjatmoko sebagai “imajinasi kreatif” jelas merupakan hasil proses sosial, dan sebagai proses sosial ia berakar pada dasar kebudayaan sosial manusia (disebut Soedjatmoko sebagai bangsa). Di titik imajinasi kreatif atau progresifitas inilah kemudian terjadi perbedaan antara menjalankan tradisi keilmuan dan teknologi atau melakukan perubahan, intervensi maupun revolusi gagasan dasar atas values keilmuan dan teknologi itu sendiri. Artinya mengembangkan tradisi keilmuan dan kreasi teknologi dapat dilakukan dengan cara melakukan penemuan baru maupun perekayasaan teknologi sesuai keilmuan yang baru tersebut. Pengembangan tradisi baru jelas sekali menggunakan dan menyesuaikan values dimana tradisi keilmuan dan teknologi tersebut dikembangkan (Mulawarman 2009, Forthcoming).

Imajinasi kreatif atau progresifitas bagi dunia Barat dapat dilakukan sesuai dengan perkembangan sosial masyarakatnya, perkembangan kebudayaannya. Berdasarkan hal tersebut kemudian berkembang di dunia Barat apa yang dinamakan Paradigma Keilmuan atau Worlview Keilmuan2. Paradigma keilmuan Barat oleh Burell dan Morgan (1979) disusun berdasar empat paradigma utama, yaitu fungsionalisme, interpretif, radikal humanis dan radikal struktural. Sedangkan dalam akuntansi misalnya dibagi dalam paradigma positif, interpretif dan kritis (Chua, 1986; untuk pembagian berbeda lihat Belkaoui 2000). Muhadjir (2000) melakukan pembagian yang berbeda, yaitu positivis, postpositivis (di dalamnya termasuk interpretif dan kritis) dan postmodernisme. Sedangkan turunan metodologinya, biasanya paradigma positivis menggunakan metodologi kuantitatif, sedangkan di luar itu menggunakan metodologi kualitatif atau lainnya.

Perkembangan terbaru saat ini muncul apa yang disebut dengan paradigma spiritual. Paradigma ini sebenarnya merupakan rentetan yang dihasilkan dari perkembangan paradigmatik Barat, terutama sebagai hasil turunan paradigma postmodernisme afirmatif. Postmodernisme afirmatif menurut Rosenau (1992) dicirikan dengan persetujuannya dengan kalangan skeptis dalam kritik terhadap modernitas, meskipun aliran ini masih lebih mementingkan harapan, pandangan optimis, terbuka pada aksi positif politik atau konten (isi) dengan rekognisi visioner, merayakan proyek non-dogmatik (termasuk tentatif dan non-ideologis) personal yang berada pada ring Agama New Age dan Gaya Gidup Aliran Baru dan termasuk seluruh spektrum gerakan sosial postmodern.

Berbeda dengan pembagian paradigmatik Barat, tradisi Islam kontemporer memiliki beberapa definisi paradigma atau worldview yang menonjol. Zarkasyi (2005) mencatat setidaknya empat definisi paradigma atau worldview dalam khasanah Islam kontemporer, yaitu definisi dari Maulana Al-Maududi, Syaikh Atif al-Zain, Sayyid Qutb, dan Seyyed Naquib Al-Attas3. Point penting yang dapat ditangkap dari definisi keempat tokoh Muslim di atas adalah bahwa paradigma berkenaan dengan pandangan hidup Muslim tentang realitas dan kebenaran serta hakikat wujud yang berakumulasi dalam alam pikiran dan memancar dalam seluruh aktfitas kehidupan umat Islam.

Bila kita lihat penjelasan-penjelasan mengenai makna paradigma di atas, dapat kita lihat terdapat perbedaan pemahaman mengenai paradigma. Dalam tradisi Barat, paradigma lebih dilihat dalam konteks filsafat dan pandangan hidup yang memiliki tiga penekanan, yaitu motor bagi perubahan sosial, dasar bagi pemahaman realitas, dan dasar bagi aktifitas ilmiah. Namun dalam Islam makna paradigma menjangkau makna pandangan Islam terhadap hakikat dan kebenaran tentang alam semesta dan selalu berujung pada Kebenaran Mutlak (Al-Haqq) yaitu Allah. Paradigma Islam tidak terbatas pandangan akal manusia terhadap dunia fisik atau keterlibatan manusia di dalamnya dari segi historis, sosial, politik dan kultural, tetapi mencakup aspek dunia dan hari akhir, dimana aspek dunia harus terikat dan mendalam dengan aspek akhirat, sedangkan aspek akhirat harus diletakkan sebagai aspek final. Mudahnya, paradigma dalam bahasa Al-Faruqi disebut dengan Tawhid.

Pertanyaannya kemudian, bila pendekatan paradigmatik Barat berbeda dengan pandangan religius seperti Islam di atas misalnya, maka apakah dimungkinkan adanya perbedaan yang signifikan pula akan pendekatan paradigmatik dari agama lain? Saya kira hal itu sah-sah saja. Artinya ketika pendekatan paradigmatik Barat dirasa “sesak” karena adanya “ideologisasi” yang melekat pada dirinya, atau dirasa “terlalu longgar” karena adanya “deideologisasi” paradigmatik, maka dapat dipastikan serta perlunya ruang lain yang memberikan kebebasan atas kreativitas atas nama ilmu untuk mengkreasi, katakanlah, Paradigma Religius. Contohnya, seperti dijelaskan singkat di atas, yaitu Paradigma Islam.

5. Catatan Akhir: Refleksi Melalui Metatheorizing Akuntansi

Pilihan-pilihan atas pengembangan keilmuan akuntansi memang tidak harus “memiliki” langgam yang sama, karena ilmu akuntansi sebagai hasil dari kehidupan sosial dan pikiran manusia tidak dapat “dipenjara” oleh perspektif atau diskursus yang memberikan katagori-kategori sedemikian rupa akan menghilangkan kreativitas keilmuan dan realitas sosial itu sendiri. Memahami pengembangan paradigmatik akuntansi untuk memotret realitas sosial akuntansi apa adanya dan sesuai dengan realitas sosial akuntansi itu sendiri akhirnya pula perlu kejernihan dan bijak sebagai bentuk demokratisasi berpikir tanpa sekat-sekat yang menghalanginya. Artinya, saling memahami posisi paradigmatik tiap pengamat akuntansi perlu dikedepankan.

Untuk menjembatani hal tersebut menjadi penting melakukan meta analisis sebagai bentuk refleksi sosiologis ilmu akuntansi. Meta analisis tersebut dapat merujuk usulan Metatheorizing Sosiologi dari Ritzer dan Goodman (2007). Metatheorizing atau metateori akuntansi dapat dilakukan melewati tiga cara. Pertama, metateori sebagai alat untuk menghasilkan pemahaman lebih baik dan lebih mendalam tentang teori akuntansi yang ada. Kedua, metateori sebagai prelude pengembangan teori akuntansi atas teori akuntansi yang telah ada untuk menciptakan teori akuntansi baru. Ketiga, metateori sebagai sumber perspektif yang mendasari teori akuntansi untuk menciptakan sebuah perspektif atau paradigma.

Akhirnya, memahami akuntansi secara sosiologis seperti ditekankan Pierre Bourdieu haruslah selalu dalam koridor refleksif (Bourdieu dan Wacquant 1992). Menurutnya sosiologi seharusnya menjadi meta tetapi selalu vis-à-vis dengan dirinya sendiri. Hal ini diperlukan agar sosiologi terhindar dari permainan kekuatan sosial yang dominan dalam melakukan studi sosiologi, bebas dari kekerasan simbolis (symbolic violence)4. Singkatnya, PILIHAN SOSIOLOGIS AKUNTANSI TERDAPAT DALAM REFLEKSI DIRI KITA MASING-MASING dan BERETIKA!!!…Insya Allah.
Oleh: Aji Dedi Mulawarman

Agency Theory: Extreme"Accounting"Ways

Pandangan bahwa akuntansi tidak bebas nilai telah terbukti secara aksiomatik (axiomatic value laden accounting) . Pembuktian awal akuntansi yang sarat dengan pengaruh nilai-nilai dalam masyarakat, dimulai tahun 1980an. Yaitu munculnya paper pada Accounting, Organization and Society, yang ditulis Burchell, Clubb, Hopwood, Hughes dan Nahapiet, berjudul The Roles of Accounting in Organization and Society (Roslender, 1992). Artikel itu kemudian telah memicu penelitian yang lebih jauh, seperti Richardson, Tinker, Merino dan Neimark, dan lain-lain. Dijelaskan Chua (1986), akuntansi bukan hanya dipandang sebagai rasional teknik saja, suatu aktivitas jasa yang terpisah dari hubungan kemasyarakatan.
Ketika dipahami bahwa akuntansi tidak bebas nilai, pertanyaan yang muncul kemudian adalah nilai apa yang terkandung dalam domain akuntansi konvensional saat ini? Perubahan orientasi sebagai penyaji informasi, memang telah terjadi dalam akuntansi konvensional. Mulai dari hanya sebagai metode pencatatan book-keeping (tata-buku) yang dipakai oleh para pedagang di jaman pra-modern. Kemudian, menjelma menjadi salah satu “senjata” yang dipakai oleh Kapitalisme, seperti dijelaskan oleh Weber (2003;101) dalam Andreski (1989:105), sebagai spirit dari kapitalisme, lengkapnya sebagai berikut :
Kapitalisme biasa didapati di manapun pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sekelompok manusia dilakukan oleh bisnis swasta. Lebih khusus lagi, suatu bentukan kapitalisme rasional adalah bentukan yang memiliki akuntansi kapital, yaitu suatu bentukan yang berusaha memastikan asset-asset penghasilan-pendapatannya, keuntungannya dan ongkos-ongkosnya melalui kalkulasi menurut metode-metode pembukuan modern.
Hingga, berkembang bukan hanya sebagai alat bantu (tools) dalam dunia bisnis, akuntansi normatif, yang lebih mengarah pada membangun teori akuntansi untuk dapat menjelaskan tujuan dari laporan keuangan perusahaan, (seperti yang dilakukan oleh Belkaoui dan Hendricksen misalnya). Akuntansi dilihat sebagai arus yang mengikuti evolusi dan pendekatan positivistic ilmu ekonomi. Seperti dijelaskan oleh Watts dan Zimmerman (1986), bahwa tujuan akuntansi lebih luas daripada praktek yang selama ini ada, yaitu konsep teori yang didasarkan scientific methodology (metodologi ilmiah), yang bertujuan to explain (menjelaskan) dan to predict (memprediksi) praktek akuntansi. Ini yang disebut oleh Watts and Zimmerman (1986) sebagai Positive Accounting Theory.

AGENCY THEORY: EXTREME “ACCOUNTING” WAYS
Pengembangan akuntansi kontemporer salah satunya adalah digunakannya Agency Theory dalam menjustifikasi akuntansi positif. Agency Theory biasanya dilihat sebagai konflik kepentingan (conflict of interest) dalam akuntansi dan perusahaan. Menurut Baiman (1990) terdapat 3 model hubungan agensi yaitu The Principal-Agent Model, The Transaction Cost Economics Model, The Rochester Model. Ketiganya memiliki dua kerangka kesamaan dan dua perbedaan. Kesamaannya, pertama, ketiganya memahami ketentuan dan penyebab hilangnya efisiensi yang diciptakan oleh divergensi antara perilaku kerjasama dan kepentingan indiividu; kedua, ketiganya menganalisa dan memahami implikasi perbedaan proses pengendalian menghindari hilangnya efisiensi pada masalah agensi. Sedangkan perbedaannya, pertama, menekankan perbedaan sumber-sumber divergensi perilaku kerjasama dan kepentingan individu; kedua, menekankan perbedaan aspek pada agenda riset pada umumnya; ketiga, pemodelanberhati-hati yang mendasari konteks ekonomi yang menyebabkan timbulnyamasalah agensi; keempat, derivasi optimalisasi hubungan kerja dan memahami bagaimana hubungan kerja yang meringankan masalah agensi; kelima, komparasi hasil-hasil untuk melakukan observasi praktik model yang dipakai dan menganalisanya.Artinya dalam kerangka umum model hubungan agensi memperlihatkan bahwa manajer melakukan maksimasi expected utility agar dapat mempengaruhi desain kontrak kerja mereka. Pemilik dan manajer secara bersama dibatasi biaya atas masalah agensi, sehingga memerlukan insentif untuk mendesain kontrak yang mengurangi secara efisien masalah agensi. Dua tokoh utama (principal dan agent) dalam interaksi bisnis tersebut sebenarnya mengarah pada kepentingan yang sama, yaitu wealth, kekayaan.Bentuk ekstrim (extreme ways) dari agency theory sendiri sebenarnya adalah ketika hubungan agensi dijadikan mekanis-matematis untuk kepentingan legitimasi kepentingan “mutualis insklusif “. Bentuknya adalah dengan Portofolio Theory, Beta Theory, Efficient Market Hyphotesis dan Capital Asset Pricing Model, Pecking Order Theory, Modigliani-Miller Theory dan lain sebagainya. Semuanya yang merupakan jargon - jargon hegemonik finance yang diadaptasi dalam Akuntansi positif. Akhirnya, akuntansi menjadi alat yang powerfull untuk memberikan keuntungan yang sebesar-besarnya kepada pemilik modal di satu sisi, juga dapat memberikan manfaat injeksi modal dan investasi yang makin besar dan linier kepada agen dari pemilik modal, yaitu manajemen perusahaan, dalam mengelola perusahaan.


MEMUNCULKAN CINTA DALAM AGENCY THEORY
Ditegaskan oleh Watts (1992) bahwa hubungan agensi kaitannya dengan laporan keuangan perusahaan sangat dipengaruhi oleh kepentingan pasar dan politik. Penjelasan Watts (1992) mengenai teori akuntansi dan realitas empiris ini telah memberikan penegasan bahwa akuntansi merupakan realitas itu sendiri. Realitas tidak dapat digagas dari teori normatif yang unsienctific. Teori yang dibangun dari gagasan normatif bukanlah sebuah kebenaran yang dapat menjadi “main guidance” bagi realitas empiris akuntansi. Main guidance dalam pikiran Watts (1992) adalah realitas empiris yang harus selalu beradaptasi dengan lingkungannya, tidak tetap (tetapi relatif), sebagai hasil interaksi dan keinginan dan egoisme individu (self-interest) yang rasional, baik berbentuk hubungan agensi di dalam market process maupun political process.Berkaitan dengan Redefinisi Konsep Politisasi Akuntansi, Cooper dan Sherer (1984) memang melihat masih terdapatnya kesalahan dalam asumsi dasar akuntansi saat ini yang masih berbasis pada kepentingan shareholders. Menurut mereka kepentingan pemegang saham atau manajemen perusahaan mendominasi konsekuensi ekonomi dari laporan akuntansi meskipun ada pengakuan pada level konseptual atas pendekatan bahwa kelompok lain dalam masyarakat itu ada. Hal ini disebut akuntansi yang berbasis pada economic consequences analysis. Dari pemikiran tersebut mereka kemudian menyetujui pemikiran Tinker (1980) mengenai perlunya perubahan asumsi dasar akuntansi yang berbasis pada political economy of accounting (PEA).Cooper dan Sherer (1984) lebih percaya pada asumsi dasar konflik daripada harmoni yang dapat menjadi tempat bersembunyinya domnasi dan alienasi. Meskipun begitu penekanan realitas yang selalu konflik juga akan mempengaruhi struktur perusahaan yang akan selalu didera dominasi power dan konflik. Artinya bentuk laporan distribusi income, wealth dan power harus selalu dilandasi nilai normatif konflik dan adanya pemaksaan bentuk laporan akuntansi. Meskipun yang mungkin menurut saya sesuai hanyalah asumsi dasar keseimbangan dan emansipasi. Gagasan PEA memang baik dalam cara melakukan perlawanan terhadap dominasi nilai akuntansi yang akut berbasis self-interest dan kooptasi metodologi berbasis statistical context. Positive approach memang menekankan pada prediksi dan ekplanasi, berbeda dengan PEA, atau dapat dikatakan value-free versus value laden. Artinya PEA tidak menolak penekanan normatif, deskriptif, tetapi hal itu merupakan penekanan pada tahapan dan kepentingan penelitian. PEA tidak harus kualitatif dapat pula berbentuk kuantitatif. Dengan syarat setiap metodologi tidak pernah hilang dari masalah value laden. Tawaran alternatif ini memberi gambaran yang lebih konkret bahwa yang paling penting dalam perubahan bukan metodologinya tetapi paradigma dan nilai.Tetapi PEA masih terperangkap dalam realitas empiris yang sarat ‘konflik’ dan ‘politisasi’ kepentingan-kepentingan dengan cara memperluas karakter pelaporan akuntansi dengan mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi dan politik. Belum sampai pada karakter penyelamatan kerusakan lingkungan akibat dominasi akuntansi saat ini. Kalaupun dari critical approach yang kemudian memunculkan social accounting dengan bentuk konsep riilnya yaitu corporate social responsibility dengan bentuk laporan keuangan corporate social reporting (misalnya Gray et. al. 1988; Gray et. al. 1995; Gray et. al. 1996; Mook 2003; Mook et. al. 2003; Mook et. al. 2005) sebagai supplant dan bukan supplement dari Imperium Triumvirat Financial Statement (Income Statement, Balance Sheet dan Cashflow). Tetapi ekstensi yang dilakukan PEA maupun social accounting tetap pada konsepsi materi. Perluasannya adalah pada konsepsi pengukuran finansial dan non-finansial. Nilai-nilai non materi tidak pernah terdeteksi. Akuntabilitas dan social welfare yang asasi bukan demi kepentingan masyarakat atau lingkungan saja.Di samping itu PEA belum mendefinisikan “nilai” lebih utuh, tetapi baru meletakkan konsepsi nilai dalam konteks ontologi dan epistemologi. Konteks aksiologis dianggap terpisah meskipun hal itu secara implisit ada. Tetapi nilai aksiologis tidak seharusnya bermakna implisit. Aksiologis memang biasanya berkonotasi kebaikan dan bukannya konflik atau mengakui ketidakseimbangan. Hal ini sama seperti nyanyian Kantata Takwa:
Orang-orang harus dibangunkan,
Aku bernyanyi menjadi saksi
Kenyataan harus dikabarkan,
Aku bernyanyi menjadi saksi

Tetapi lirik lagu Kantata Takwa harusnya mungkin lebih dari itu:
Kebaikan harus ditebarkan,
Kesabaran harus dipelihara,
Kebenaran harus diperjuangkan,
Kita bernyanyi menjadi saksi

Memang kenyataan harus disampaikan. Menyampaikannya harus dalam konteks konflik dan kekuasaan yang hal itu dalam level aksiologis dapat berarti melakukan tindakan yang bermanfaat tetapi tidak etis. Artinya, dalam konteks “nilai aksiologis” akuntansi kritis masih belum menginjak asas etis tetapi baru pada asas manfaat. Berbeda dengan akuntansi positif yang jelas-jelas tidak lagi memakai asumsi aksiologis. Meskipun mereka juga memiliki asumsi aksiologis yang sangat egoistis.Pertanyaannya, apakah mungkin mengembangkan teori agensi yang tidak bersifat formalistik kontraktual dengan konsep reward dan punishment saja, atau mungkin menumbuhkan sikap altruistik saja? Apakah memang bisa bangunan materi harus memberi dampak sosial dan sekaligus spiritual? Apakah materi dapat dibangun dengan hubungan sosial yang lebih arif dan saling berbagi, untuk mencapai kebermaknaan hidup, yaitu CINTA?Hubungan agensi dengan demikian tidak dibangun dari akar self-interest, tetapi dengan cinta. Cinta akan tetap memberi kemanfaatan materi, saling berbagi dan kebermaknaan hidup. Mudahnya, bila konsep kekayaan hanya dipandang sebagai bentuk ekonomi semata, maka yang terjadi adalah konflik kepentingan di atas hubungan kooperatif. Tetapi bila konsep kekayaan dipandang sebagai bentuk trilogi, maka ada proses trust yang masuk dalam mekanisme hubungan, trust yang didasari oleh cinta dan saling berbagi. Gagasan ini memang mirip seperti model principal-agent yang lebih teoritis dan perlu diuji secara empiris, daripada mendekat pada model positivist yang lebih empiris tetapi akan mereduksi konsep teoritis yang sebenarnya penting seperti juga ditegaskan oleh Eisenhardt (1989).Bagaimana bentuk dari Agency Theory penuh Cinta? bersambung… by Ajie