Minggu, 04 Januari 2009

Akuntansi Mendorong Kepatuhan Terhadap Syariah

Al-Qur’an telah memberi pesan yang kuat mengenai keharusan mencatat transaksi keuangan yang tampak pada Surah Al-Baqarah ayat 282: Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, ... dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah...

Ajaran Islam telah menanamkan arti penting pencatatan keuangan atau pembukuan yang kemudian berkembang menjadi akuntansi. Para sarjana muslim merumuskan tujuan utama akuntansi (syariah) berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam ayat di atas, di antaranya adalah (1) prinsip pencatatan dan persaksian (dokumentasi) untuk penentuan hak dan kewajiban pihak terkait, (2) prinsip informasi untuk pengambilan keputusan, dan (3) prinsip ketakwaan untuk memenuhi kepatuhan terhadap prinsip syariah. Tujuan-tujuan ini telah diadopsi pula dalam PSAK 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah yang diterbitkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia.

Prinsip pertama dan kedua telah lazim dan berlaku pula bagi akuntansi secara umum atau yang dibahasakan sebagai akuntansi konvensional. Namun prinsip yang ketiga adalah khas bagi akuntansi syariah. Sesuai dengan hirearki karakteristik kualitatif dalam kerangka dasar konseptual akuntansi, tujuan menduduki peringkat pertama yang menurunkan karaktristik, unsur-unsur yang harus dipenuhi, asumsi dan prinsip dasar, serta kendala yang dihadapi. Dengan demikian, kegagalan pemenuhan prinsip ini akan membuat akuntansi tak dapat dikategorikan sebagai akuntansi syariah karena tiada beda dengan akuntansi konvensional.

Para praktisi ekonomi syariah tampaknya masih banyak yang belum menyadari peranan akuntansi sebagai sarana untuk meningkatkan kepatuhan terhadap prinsip syariah dalam bertransaksi. Ini terasa seperti lagu lama di mana akuntansi konvensional juga gagal memenuhi tujuannya sebagai penyedia informasi yang handal untuk pengambilan keputusan, karena kurangnya kejujuran, adanya peluang earning management, dan manipulasi informasi melalui pemanfaatan teknik-teknik akuntansi. Sedangkan idealnya, akuntansi syariah mampu menyajikan informasi yang jujur, apa adanya, dan mendorong pemenuhan aspek syariah dalam muamalah, terutama menyangkut akad serta penetapan hak dan kewajiban.

Beberapa Ilustrasi

Sebagai contoh, setiap pelaporan yang menggunakan istilah pembiayaan menunjukkan bahwa akadnya didasarkan pada prinsip bagi hasil, sedangkan istilah piutang menunjukkan bahwa akad didasarkan pada prinsip jual beli atau prinsip pewakilan. Dengan demikian, kita dapat membedakan antara piutang murabahah dengan pembiayaan mudharabah.

Contoh yang lain adalah proses taukil pada akad murabahah. Pada hakekatnya ada dua transaksi, yaitu (1) transaksi wakalah, di mana nasabah membeli barang murabahah atas nama bank, dan (2) transaksi murabahah sendiri pada saat barang diserahterimakan kepada nasabah melalui akad jual beli murabahah. Akad wakalah digambarkan oleh akuntansi melalui adanya piutang wakalah yang harus dilunasi oleh nasabah dengan barang murabahah. Tiadanya proses ini akan membuat murabahah tiada beda dengan peminjaman uang yang mensyaratkan tambahan jumlah yang harus dikembalikan (dikenal sebagai riba nasi’ah). Penguasaan akuntansi dalam masalah ini akan membuat orang sadar pada akad yang dihadapi dan memahami batas akad yang harus dipenuhinya.

Contoh lain lagi adalah pelaporan ekuitas pada Neraca nasabah. Apabila seluruh ekuitas berasal dari bank syariah sebagai pemilik dana (shahibul maal), maka akadnya adalah mudharabah. Apabila nasabah memiliki ekuitas lain, maka mau tidak mau akadnya adalah musyarakah, karena terjadi percampuran modal. Dalam praktiknya, banyak BPR Syariah maupun BMT menggunakan akad mudharabah karena merasa menyediakan seluruh dana, meski nasabah sebenarnya juga menyediakan ekuitas, baik berupa toko, peralatan, atau pun persediaan yang lama. Apabila akadnya berbeda, akuntansinya juga berbeda.

Contoh yang lain lagi adalah teknik penghitungan bagi hasil yang dapat didasarkan pada laba kotor (gross profit sharing) atau pada laba bersih (profit sharing). Akuntansi memberikan media yang jelas pada bentuk laporan laba rugi yang digunakan. Bentuk bertahap (multiple step) memungkinkan penghitungan gross profit sharing, sedangkan bentuk tunggal (single step) hanya bisa mengakomodasi profit sharing.

Dalam tataran yang lebih rumit, penentuan berapa harga pokok dan besarnya biaya yang dapat dibebankan secara adil (fair) dihitung berdasarkan prinsip-prinsip dalam akuntansi manajemen yang jelas membedakan antara konsep biaya relevan dan konsep biaya penuh. Pelaporan selisih yang bersifat merugikan dari biaya standar dapat mengungkap seberapa besar biaya yang timbul akibat inefisiensi yang dilakukan oleh penguasaha (mudharib). Hal-hal ini harus dibicarakan oleh shahibul maal dengan mudharib.

DPS dan Pemahaman Akuntansi Syariah

Dengan pemahaman yang baik terhadap akuntansi dan arti pentingnya, maka akuntansi syariah dapat diharapkan menjadi bahasa di kalangan bisnis syariah sekaligus mampu mendorong kepatuhan terhadap prinsip syariah, terutama menyangkut akad dan penetapan hak dan kewajiban setiap pihak yang terkait.

IAI telah berusaha keras untuk merumuskan standar akuntansi syariah dengan memperhatikan pertimbangan dan keputusan dari Dewan Syariah Nasional (DSN). Sungguh patut disayangkan apabila upaya mulia tersebut tersia-sia karena komunitas ekonomi syariah tidak menyambutnya – bukan karena enggan, melainkan – karena kurangnya penguasaan di bidang tersebut dan kurangnya pemahaman tentang arti penting pelaporan keuangan sebagaimana diamanatkan Surah Al-Baqarah ayat 282. Suatu institusi dapat disebut sebagai institusi syariah apabila memenuhi segenap aspek syariah, termasuk dalam hal pencatatan dan pelaporan keuangannya.

Pengawasan terhadap aspek syariah pada lembaga keuangan syariah (LKS) mestinya juga tidak terbatas pada aspek produk dan akad, tetapi juga menyangkut pengawasan terhadap kepatuhan terhadap akuntansi syariah, terlebih setelah kita menyadari pentingnya akuntansi dalam mendorong kepatuhan terhadap aspek syariah. Pada titik ini, peranan Dewan Pengawas Syariah (DPS) menjadi dipertanyakan (meski sebenarnya tanpa ada masalah akuntansi sekali pun, peran DPS selama ini juga patut dipertanyakan).

Tampaknya di masa mendatang, perlu dipersyaratkan adanya seorang akuntan yang menjadi anggota DPS. Atau setidak-tidaknya sekretaris DPS harus ada dua, salah satunya akuntan yang dapat mendiskusikan duduk perkara pencatatan transaksi – terutama menyangkut pengakuan pendapatan dan biaya serta penyajian laporan keuangan – dengan DPS secara lebih independen, daripada pertanyaan diajukan oleh manajemen yang tidak tertutup kemungkinan mempunyai kepentingan-kepentingan tertentu dalam penyajian laporan keuangan. Solusi yang lain dari masalah ini adalah penyelenggaran pelatihan akuntansi syariah bagi anggota-anggota DPS, khususnya yang masih muda-muda, sehingga DPS dapat mengawasi pemenuhan aspek syariah dari lembaga yang diawasinya secara lebih kaafah.

Wa Allah A’lam.


Oleh: H. M. Dawud Arif Khan, S.E., M.Si., Ak., BAP

Tidak ada komentar:

Posting Komentar