Sabtu, 17 Januari 2009

Buku Akuntansi Syariah

Insya Allah saya akan menerbitkan buku AKUNTANSI SYARIAH: Teori, Konsep Dasar dan Laporan Keuangan, terbitan E-Publishing Company Jakarta. Launching perdana rencananya akan dilaksanakan Awal Pebruari 2009 bersamaan dengan pendirian lembaga think-thank ekonomi Islam, Center for Study of Islamic Economics (CSIE) di Jakarta.

Buku kedua tersebut akan melengkapi gagasan-gagasan awal saya mengenai perlunya Akuntansi Islam atau Akuntansi Syariah yang memiliki Koeksistensi Universalitas Islam dan Keindonesiaan. Secara umum buku baru ini merupakan jawaban atas pertanyaan mendasar:

“Apakah akuntansi Islam atau juga biasa disebut akuntansi syariah memang memiliki jiwa asalinya, memiliki jiwa universal sekaligus lokal?”

Universalitas berkenaan dengan akuntansi merupakan bangunan keilmuan yang diturunkan dari nilai nilai universal Islam. Sedangkan Lokalitas berkenaan dengan akuntansi sebagai ilmu tidak mungkin bebas nilai, lepas dari nilai-nilai budaya, religius, etis dan lokal.

Dalam buku tersebut akan diperlihatkan secara utuh bahwa aspek budaya, sosial, religius, etis, dan loikal sangat mempengaruhi bentuk dan “taste” akuntansi yang memiliki koeksistensi nilai universalitas Islam sekaligus nilai lokal khas Indonesia. Akuntansi syariah ber-”jiwa” universal sekaligus lokal tak dapat dipungkiri telah menjadi potret differensiasi atas akuntansi Barat yang selama ini selalu dan “sengaja” dipaksakan sebagai bebas nilai dan dapat digunakan dimanapun akuntansi diterapkan.

Buku Kedua Akuntansi Syariah ini akan memunculkan gagasan-gagasan baru. Gagasan tersebut mulai dari tujuan akuntansi syariah, konsep dasar teoritis akuntansi syariah, tujuan laporan keuangan akuntansi syariah, prinsip-prinsip dan karakter laporan keuangan syariah, sampai dengan bentuk laporan keuangan syariah yang saya sebut sebagai TRILOGI LAPORAN KEUANGAN SYARIAH. by Aji

Agresi Israel terhadap Palestina

A. RESOLUSI DEWAN HAM PBB: (1) Israel melakukan pelanggaran HAM massal terhadap Palestina; (2) Segera bentuk misi internasional untuk menginvestigasi tindakan Israel.

B. MAJELIS PARLEMEN ASIA (APA): (1) Sepakat membentuk tim pencari fakta untuk menginvestigasi dampak agresi dan kejahatan perang yang dilakukan Israel; (2) Mengajukan pemimpin Israel ke Mahkamah Internasional, karena melakukan kejahatan perang.

C. HUMAN RIGHTS WATCH: Israel harus diinvestigasi karena melakukan kejahatan perang.

D. KOMISI HAM INDEPENDEN: Yang terjadi di Gaza adalah kejahatan melawan kemanusiaan (crime against humanity).

E. PRESIDEN MAJELIS UMUM PBB, MIGUEL D’ESCOTO BROCKMANN: Jumlah korban di Gaza terus meningkat dari hari ke hari. Ini tak bisa dibiarkan. Ini Genosida.

Sumber: Republika edisi cetak Kamis, 15 Desember 2009

Antara Teknologi dan Insting

Tanggal 14 Januari 2009 jam 11.30 saya sedang melihat berita di televisi mengenai perkembangan proses penyelamatan korban KM Teratai Prima yang tenggelam pda Senin 12 Januari 2009 di Perairan Majene Sulbar. Keluarga dan kerabat yang menjadi korban siang itu melakukan protes karena sampai berita tersebut diturunkan ternyata tidak menyelamatkan seorangpun korban. Mereka kecewa atas kinerja dan profesionalitas penyelamatan korban yang tidak menghasilkan apa-apa. Seluruh korban yang selamat diklaim penduduk dan keluarga korban diselamatkan oleh para nelayan setempat dan bahkan ada yang ditemukan oleh kapal yang kebetulan lewat di perairan Majene.

Seperti diketahui TIM SAR pasti dilengkapi peralatan dan perlengkapan dengan teknologi canggih. Di sisi lain, nelayan tidaklah memiliki peralatan dan perlengkapan seperti TIM SAR. Nelayan hanyalah mengandalkan insting dan intuisi nelayan. Hasilnya nelayan lebih banyak menemukan korban. Jadi, yang perlu dievaluasi pemerintah dan TIM SAR mungkin adalah bukan hanya ketrampilan dan kemampuan teknis menggunakan perangkat elektronik dan teknologi pelayaran dan atau penyelamatan yang canggih. Lebih penting lagi adalah TIM SAR harus mulai menyusun ulang dan melatih para tenaga profesionalnya untuk menggali intuisi dan instingnya. hehehe gitu kali ya… gak ngerti juga deh…

by ajidedim in teknologi.

SCIENCE WAR DAN PARADIGMA ILMU

Refleksi Atas Pendekatan Sosiologi dalam Ilmu Akuntansi1

Kesejukan adalah indahnya ucapan…
Keindahan adalah santunnya diri…

1. Pendahuluan
Diskursus akuntansi sebagai ilmu hingga saat ini memang masih menyisakan beberapa pertanyaan mendasar. Mulai dari apakah ilmu akuntansi bebas nilai (value free) atau sarat nilai (value laden)? Apakah ilmu akuntansi obyektif atau subyektif? Apakah ilmu akuntansi memang tidak bisa lari dari kenyataan bahwa dia berada dalam genggaman positivisme atau harus memiliki keragaman cara pandang? Apakah ilmu akuntansi memang perlu atau tidak perlu dekat dengan realitas budaya, spiritualitas, religiusitas? Dan lain sebagainya, dan lain sebagainya, dan lain sebagainya.

Pertanyaan-pertanyaan mendasar positioning akuntansi tersebut memang tidak dapat dihindari, ketika akuntansi dipahami sebagai ilmu. Diskursus semacam itu bukanlah khas akuntansi, tetapi memang khas ketika akuntansi dipandang bukan hanya sebagai praktik ataupun hasil dari perekayasaan ilmu atau teknologi. Ketika akuntansi telah masuk dalam koridor keilmuan (science), maka akuntansi secara langsung telah memasuki pula “ruang permainan” science itu sendiri, yaitu apa yang dinamakan dengan Science War.

2. Science War dan Pendekatan Paradigmatik Ilmu

Science War atau perang ilmu muncul pertama kali sebagai wacana ilmiah resmi dan terpublikasi dalam edisi khusus jurnal ilmiah Social Text tahun 1995. Meskipun perbincangan dan saling kritik antara sudut pandang epistmologis ilmu juga telah berlangsung setahun sebelumnya ketika Paul Gross dan Norman Levitt menerbitkan buku berjudul “Higher Superstition: The Academic Left and its Quarrels with Science“. Gross dan Levitt di buku tersebut menjelaskan bahwa telah terjadi tarik menarik antara ilmuwan mainstream yang dimotori oleh scientist Amerika yang telah dikritik habis-habisan oleh ilmuwan kritis, karena ilmu telah dibawa oleh para aliran mainstream dalam koridor “politik dan ekonomi”, seperti industri senjata untuk kepentingan perang atau eksploitasi sumber daya alam dan ekonomisasi teknologi untuk kepentingan perusahaan multinasional (Sardar 2002).

Tujuan penerbitan edisi khusus Science War sendiri sebenarnya adalah untuk menjawab serangan para ilmuwan kritis/postmodernis (dalam jurnal tersebut disebut sebagai gerakan anti ilmu) atas kecurigaan mereka berkenaan dengan penyimpangan yang telah terjadi pada ilmu mainstream karena telah “ditunggangi” oleh “rejim maskulin”, “penerus kapitalisme” lewat empirisisme ilmiah dan berbagai dampak dektruktif ilmu terhadap masyarakat dan lingkungan (Sardar 2002).

Setahun kemudian (1996) Social Text memunculkan tulisan Alan D. Sokal, professor Fisika dari New York University, berjudul “Transgressing the Boundaries: Toward a Transformative Hermeneutics of Quantum Gravity”. Tulisan tersebut merupakan bantahan dan mungkin pantas disebut sebagai “olokan” yang tidak ilmiah sama sekali atas makin berkembangnya pemikiran baru di “luar” mainstream ilmu, postmodernisme, sebagai tak bernyawa “ilmu”. Media Lingua Franca edisi Mei-Juni 1996 memuat pengakuan Sokal bahwa naskahnya yang diterbitkan Social Text adalah olok-olok untuk memperdayai aliran di luar mainstream keilmuan. Hasilnya, naskah Sokal banyak mendapat cemoohan baik di kalangan akademisi mainstream sendiri maupun akademisi kritis di seluruh dunia, karena sarat dengan konsep-konsep konyol yang tak punya nilai secara ilmiah, tetapi terkesan “provokatif”, “liar”, dan emosional dari segi retorika (Arsuka 2000, Leksono 2000).

Science War menurut Sardar (2002) ternyata tidak baru terjadi tahun 1995-1996 tetapi merupakan “warisan lama” tak lekang zaman. Perang epistemologis ilmu bila kita tarik ke belakang, juga telah disikapi oleh Thomas Kuhn tahun 1960-an ketika memunculkan istilah Paradigm di bukunya yang berjudul The Structure of Scientific Revolutions, sebagai jawaban atas “pergolakan ilmu” (Science War) yang sedang terjadi saat itu. Science War menurut ilmuwan yang mendalami studi Sejarah Ilmu ini, dimulai awal abad 20, ketika ilmuwan fisika mulai terlibat dalam eksperimen untuk industri dan militer. Kemudian berkembang pada Science War II, ketika ilmu masuk dalam tataran ideology, dengan berkembangnya “ilmu sosialis”, yang merupakan implementasi pemikiran Marxism, sebagai antitesis “ilmu borjuis” (kapitalisme). Di antara pertentangan dua kutub inilah Thomas Kuhn memunculkan paradigma.

3. Paradigma dan Kemungkinan Integrasi Paradigmatik

Tujuan utama Kuhn adalah untuk menantang asumsi yang berlaku umum di kalangan ilmuwan mengenai perkembangan ilmu pengetahuan. Kalangan ilmuwan pada umumnya berpendirian bahwa perkembangan atau kemajuan ilmu pengetahuan itu terjadi secara kumulatif. Inti tesis Kuhn adalah bahwa perkembangan ilmu pengetahuan bukanlah terjadi secara kumulatif tetapi terjadi secara revolusi. Pendekatan revolusionis yang merupakan inti dari konsep paradigma adalah bentuk reaksi terhadap tafsir Whig atas sejarah. Sejarah adalah progresi kebebasan secara linier yang kian meningkat dan berpuncak pada masa kini (Sardar 2002).

Kritik mendalam Kuhn adalah pada metode ilmiah (mulai dari observasi, eksperimentasi, deduksi dan konklusi yang diidealisasikan). Dasar klaim ilmu yang obyektif dan universal menurutnya sebagai ilusi. Kuhn menyatakan paradigmalah yang menentukan jenis-jenis eksperimen ilmuwan, jenis-jenis pertanyaan yang diajukan dan masalah yang mereka anggap penting. Tanpa paradigma tertentu para ilmuwan bahkan tak bisa mengumpulkan ‘fakta’. Pergeseran paradigma mengubah konsep-konsep dasar yang melandasi riset dan mengilhami standar-standar pembuktian baru, teknik-teknik riset baru serta jalur-jalur teori dan eksperimen baru yang secara radikal ‘tidak bisa dibandingkan lagi’ dengan yang lama (Sardar 2002).

Makna munculnya konsepsi revolusi dalam ilmu adalah perang ilmu yang terjadi sepanjang sejarah untuk menetapkan kekuatan ilmu yang berada pada sisi satu sama lainnya. Tarik menarik ini (antara ilmu yang evolutif dan revolutif) telah menjadi tradisi yang tak kunjung selesai. Dan sebenarnya pula pikiran Kuhn bukan menolak tradisi ilmu yang telah mapan dan juga tidak menolak tradisi ilmu yang berkembang yang tidak muncul secara evolutif, tetapi terdapat kemungkinan revolusi di dalamnya. Meskipun Kuhn menunjukkan bahwa normal science adalah bentuk dogmatis paradigma tertentu. Hal ini ditunjukkan dalam proses terjadinya revolusi ilmu yang tidak terjadi secara langsung, tetapi melalui beberapa proses.

Dari proses di atas terlihat bahwa perubahan dari paradigma pertama menuju paradigma kedua, ilmu yang telah mapan (normal science) menempati paradigma pertama, adalah periode akumulasi ilmu pengetahuan di mana para ilmuwan bekerja dan mengembangkan paradigma yang sedang berpengaruh. Namun para ilmuwan tidak dapat mengelakkan pertentangan dengan pernyimpangan yang terjadi (anomalies) karena Paradigma I tidak mampu memberikan penjelasan terhadap persoalan yang timbul secara memadai.Selama penyimpangan memuncak, suatu krisis akan muncul dan paradigma itu sendiri mulai disangsikan validitasnya. Bila krisis sudah sedemikian seriusnya maka suatu revolusi akan terjadi dan paradigma baru akan muncul yang dianggap mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi persoalan paradigma sebelumnya.

Usulan menarik dari Ritzer (2003) berkenaan “jalan damai” yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan Science War maupun Pemisahan Paradigmatik Ilmu adalah dengan melakukan Integrasi Paradigma. Menurutnya, masing-masing paradigma tidak harus dihilangkan atau saling mereduksi, sepanjang tiap paradigma memang memberikan solusi sesuai posisinya masing-masing. Di samping tetap menghargai kemajemukan dan peran masing-masing, Ritzer menginginkan adanya integrasi paradigmatik. Integrasi merupakan salah satu cara untuk melengkapi paradigma yang ada dan bukan dimaksudkan untuk menciptakan posisi hegemoni baru.

Kunci utama integrasi paradigmatik ada pada gagasan mengenai tingkat analisis sosial. Seperti diketahui bahwa kehidupan sosial tidaklah terbagi dalam koridor-koridor seperti gambaran Burell dan Morgan (1979) misalnya. Realitas sosial sebenarnya merupakan fenomena beragam dan selalu terjadi interaksi dan selalu berubah. Individu, kelompok, keluarga, birokrasi, pemerintahan, kota, desa, negara dan berbagai fenomena lain tersebut mencerminkan deretan fenomena tak terstruktur teratur, yang dengan keunikannya tersebut membentuk kehidupan sosial. Untuk memahaminya jelas diperlukan sejumlah skema konseptual sedemikian rupa, sehingga realitas dapat dijelaskan secara baik dan apabila perlu mendekati keutuhan realitas itu sendiri. Bagaimana bentuknya? Ritzer sendiri belum memberikan koridor baru yang dapat diimplementasikan. Usulan integrasi paradigmatik dari Ritzer mungkin saja dapat dilakukan, meskipun hal itu masih berwujud wacana yang sulit terealisasi dalam waktu dekat. Bahkan yang terjadi saat ini adalah makin beragamnya pendekatan paradigmatik atas ilmu itu sendiri.

4. Refleksi Paradigmatik: Adakah Jalan Lain di luar Barat?
Bila kita lihat lebih jauh, pengembangan ilmu dan teknologi merupakan salah satu bentuk konkrit manusia untuk memuaskan sifat ingin tahu dirinya dan harapan hidup lebih baik. Pengembangan ilmu berkenaan dengan pemuasan sifat ingin tahu manusia, sedangkan pengembangan teknologi berkenaan dengan implementasi ilmu untuk memberikan harapan hidup lebih baik dari sebelumnya. Rasa ingin tahu dan hidup lebih baik inilah yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lain. Sensibilitas ingin tahu dan lebih baik ini pula yang kemudian merasuki ranah pemikiran dan membentuk apa yang dapat disebut sebagai progresifitas sifat dasar kemanusiaan (nature of progressivity of human being) dalam ranah ilmu dan teknologi (Mulawarman 2009, Forthcoming).

Progresifitas dapat berbentuk meneruskan perkembangan ilmu dan teknologi yang telah ada. Progresifitas juga dapat berbentuk menemukan ilmu dan berdampak pada bentuk teknologi yang baru. Progresifitas untuk meneruskan perkembangan ilmu dan teknologi biasanya berhubungan dengan pembuktian-pembuktian teoritis maupun empiris serta pengembangan teknologi dari hasil-hasil keilmuan yang lebih maju. Bentuk seperti ini mensyaratkan adanya kesamaan values (nilai-nilai) yang mendasari ilmu maupun teknologi, baik values dari ilmu itu sendiri, values yang melingkupi alam pikiran ilmuwan maupun lingkungan/masyarakatnya (Mulawarman 2009, Forthcoming).

Tidak salah bila Soedjatmoko (1986, 37) menekankan bawah aplikasi ilmu dan riset tidak dapat lepas dari basic values system masyarakatnya, bahkan untuk bekerja dengan hasil yang baik itupun harus dianggap dan diterima sebagai suatu value tersendiri. Progresifitas atau dikatakan Soedjatmoko sebagai “imajinasi kreatif” jelas merupakan hasil proses sosial, dan sebagai proses sosial ia berakar pada dasar kebudayaan sosial manusia (disebut Soedjatmoko sebagai bangsa). Di titik imajinasi kreatif atau progresifitas inilah kemudian terjadi perbedaan antara menjalankan tradisi keilmuan dan teknologi atau melakukan perubahan, intervensi maupun revolusi gagasan dasar atas values keilmuan dan teknologi itu sendiri. Artinya mengembangkan tradisi keilmuan dan kreasi teknologi dapat dilakukan dengan cara melakukan penemuan baru maupun perekayasaan teknologi sesuai keilmuan yang baru tersebut. Pengembangan tradisi baru jelas sekali menggunakan dan menyesuaikan values dimana tradisi keilmuan dan teknologi tersebut dikembangkan (Mulawarman 2009, Forthcoming).

Imajinasi kreatif atau progresifitas bagi dunia Barat dapat dilakukan sesuai dengan perkembangan sosial masyarakatnya, perkembangan kebudayaannya. Berdasarkan hal tersebut kemudian berkembang di dunia Barat apa yang dinamakan Paradigma Keilmuan atau Worlview Keilmuan2. Paradigma keilmuan Barat oleh Burell dan Morgan (1979) disusun berdasar empat paradigma utama, yaitu fungsionalisme, interpretif, radikal humanis dan radikal struktural. Sedangkan dalam akuntansi misalnya dibagi dalam paradigma positif, interpretif dan kritis (Chua, 1986; untuk pembagian berbeda lihat Belkaoui 2000). Muhadjir (2000) melakukan pembagian yang berbeda, yaitu positivis, postpositivis (di dalamnya termasuk interpretif dan kritis) dan postmodernisme. Sedangkan turunan metodologinya, biasanya paradigma positivis menggunakan metodologi kuantitatif, sedangkan di luar itu menggunakan metodologi kualitatif atau lainnya.

Perkembangan terbaru saat ini muncul apa yang disebut dengan paradigma spiritual. Paradigma ini sebenarnya merupakan rentetan yang dihasilkan dari perkembangan paradigmatik Barat, terutama sebagai hasil turunan paradigma postmodernisme afirmatif. Postmodernisme afirmatif menurut Rosenau (1992) dicirikan dengan persetujuannya dengan kalangan skeptis dalam kritik terhadap modernitas, meskipun aliran ini masih lebih mementingkan harapan, pandangan optimis, terbuka pada aksi positif politik atau konten (isi) dengan rekognisi visioner, merayakan proyek non-dogmatik (termasuk tentatif dan non-ideologis) personal yang berada pada ring Agama New Age dan Gaya Gidup Aliran Baru dan termasuk seluruh spektrum gerakan sosial postmodern.

Berbeda dengan pembagian paradigmatik Barat, tradisi Islam kontemporer memiliki beberapa definisi paradigma atau worldview yang menonjol. Zarkasyi (2005) mencatat setidaknya empat definisi paradigma atau worldview dalam khasanah Islam kontemporer, yaitu definisi dari Maulana Al-Maududi, Syaikh Atif al-Zain, Sayyid Qutb, dan Seyyed Naquib Al-Attas3. Point penting yang dapat ditangkap dari definisi keempat tokoh Muslim di atas adalah bahwa paradigma berkenaan dengan pandangan hidup Muslim tentang realitas dan kebenaran serta hakikat wujud yang berakumulasi dalam alam pikiran dan memancar dalam seluruh aktfitas kehidupan umat Islam.

Bila kita lihat penjelasan-penjelasan mengenai makna paradigma di atas, dapat kita lihat terdapat perbedaan pemahaman mengenai paradigma. Dalam tradisi Barat, paradigma lebih dilihat dalam konteks filsafat dan pandangan hidup yang memiliki tiga penekanan, yaitu motor bagi perubahan sosial, dasar bagi pemahaman realitas, dan dasar bagi aktifitas ilmiah. Namun dalam Islam makna paradigma menjangkau makna pandangan Islam terhadap hakikat dan kebenaran tentang alam semesta dan selalu berujung pada Kebenaran Mutlak (Al-Haqq) yaitu Allah. Paradigma Islam tidak terbatas pandangan akal manusia terhadap dunia fisik atau keterlibatan manusia di dalamnya dari segi historis, sosial, politik dan kultural, tetapi mencakup aspek dunia dan hari akhir, dimana aspek dunia harus terikat dan mendalam dengan aspek akhirat, sedangkan aspek akhirat harus diletakkan sebagai aspek final. Mudahnya, paradigma dalam bahasa Al-Faruqi disebut dengan Tawhid.

Pertanyaannya kemudian, bila pendekatan paradigmatik Barat berbeda dengan pandangan religius seperti Islam di atas misalnya, maka apakah dimungkinkan adanya perbedaan yang signifikan pula akan pendekatan paradigmatik dari agama lain? Saya kira hal itu sah-sah saja. Artinya ketika pendekatan paradigmatik Barat dirasa “sesak” karena adanya “ideologisasi” yang melekat pada dirinya, atau dirasa “terlalu longgar” karena adanya “deideologisasi” paradigmatik, maka dapat dipastikan serta perlunya ruang lain yang memberikan kebebasan atas kreativitas atas nama ilmu untuk mengkreasi, katakanlah, Paradigma Religius. Contohnya, seperti dijelaskan singkat di atas, yaitu Paradigma Islam.

5. Catatan Akhir: Refleksi Melalui Metatheorizing Akuntansi

Pilihan-pilihan atas pengembangan keilmuan akuntansi memang tidak harus “memiliki” langgam yang sama, karena ilmu akuntansi sebagai hasil dari kehidupan sosial dan pikiran manusia tidak dapat “dipenjara” oleh perspektif atau diskursus yang memberikan katagori-kategori sedemikian rupa akan menghilangkan kreativitas keilmuan dan realitas sosial itu sendiri. Memahami pengembangan paradigmatik akuntansi untuk memotret realitas sosial akuntansi apa adanya dan sesuai dengan realitas sosial akuntansi itu sendiri akhirnya pula perlu kejernihan dan bijak sebagai bentuk demokratisasi berpikir tanpa sekat-sekat yang menghalanginya. Artinya, saling memahami posisi paradigmatik tiap pengamat akuntansi perlu dikedepankan.

Untuk menjembatani hal tersebut menjadi penting melakukan meta analisis sebagai bentuk refleksi sosiologis ilmu akuntansi. Meta analisis tersebut dapat merujuk usulan Metatheorizing Sosiologi dari Ritzer dan Goodman (2007). Metatheorizing atau metateori akuntansi dapat dilakukan melewati tiga cara. Pertama, metateori sebagai alat untuk menghasilkan pemahaman lebih baik dan lebih mendalam tentang teori akuntansi yang ada. Kedua, metateori sebagai prelude pengembangan teori akuntansi atas teori akuntansi yang telah ada untuk menciptakan teori akuntansi baru. Ketiga, metateori sebagai sumber perspektif yang mendasari teori akuntansi untuk menciptakan sebuah perspektif atau paradigma.

Akhirnya, memahami akuntansi secara sosiologis seperti ditekankan Pierre Bourdieu haruslah selalu dalam koridor refleksif (Bourdieu dan Wacquant 1992). Menurutnya sosiologi seharusnya menjadi meta tetapi selalu vis-à-vis dengan dirinya sendiri. Hal ini diperlukan agar sosiologi terhindar dari permainan kekuatan sosial yang dominan dalam melakukan studi sosiologi, bebas dari kekerasan simbolis (symbolic violence)4. Singkatnya, PILIHAN SOSIOLOGIS AKUNTANSI TERDAPAT DALAM REFLEKSI DIRI KITA MASING-MASING dan BERETIKA!!!…Insya Allah.
Oleh: Aji Dedi Mulawarman

Agency Theory: Extreme"Accounting"Ways

Pandangan bahwa akuntansi tidak bebas nilai telah terbukti secara aksiomatik (axiomatic value laden accounting) . Pembuktian awal akuntansi yang sarat dengan pengaruh nilai-nilai dalam masyarakat, dimulai tahun 1980an. Yaitu munculnya paper pada Accounting, Organization and Society, yang ditulis Burchell, Clubb, Hopwood, Hughes dan Nahapiet, berjudul The Roles of Accounting in Organization and Society (Roslender, 1992). Artikel itu kemudian telah memicu penelitian yang lebih jauh, seperti Richardson, Tinker, Merino dan Neimark, dan lain-lain. Dijelaskan Chua (1986), akuntansi bukan hanya dipandang sebagai rasional teknik saja, suatu aktivitas jasa yang terpisah dari hubungan kemasyarakatan.
Ketika dipahami bahwa akuntansi tidak bebas nilai, pertanyaan yang muncul kemudian adalah nilai apa yang terkandung dalam domain akuntansi konvensional saat ini? Perubahan orientasi sebagai penyaji informasi, memang telah terjadi dalam akuntansi konvensional. Mulai dari hanya sebagai metode pencatatan book-keeping (tata-buku) yang dipakai oleh para pedagang di jaman pra-modern. Kemudian, menjelma menjadi salah satu “senjata” yang dipakai oleh Kapitalisme, seperti dijelaskan oleh Weber (2003;101) dalam Andreski (1989:105), sebagai spirit dari kapitalisme, lengkapnya sebagai berikut :
Kapitalisme biasa didapati di manapun pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sekelompok manusia dilakukan oleh bisnis swasta. Lebih khusus lagi, suatu bentukan kapitalisme rasional adalah bentukan yang memiliki akuntansi kapital, yaitu suatu bentukan yang berusaha memastikan asset-asset penghasilan-pendapatannya, keuntungannya dan ongkos-ongkosnya melalui kalkulasi menurut metode-metode pembukuan modern.
Hingga, berkembang bukan hanya sebagai alat bantu (tools) dalam dunia bisnis, akuntansi normatif, yang lebih mengarah pada membangun teori akuntansi untuk dapat menjelaskan tujuan dari laporan keuangan perusahaan, (seperti yang dilakukan oleh Belkaoui dan Hendricksen misalnya). Akuntansi dilihat sebagai arus yang mengikuti evolusi dan pendekatan positivistic ilmu ekonomi. Seperti dijelaskan oleh Watts dan Zimmerman (1986), bahwa tujuan akuntansi lebih luas daripada praktek yang selama ini ada, yaitu konsep teori yang didasarkan scientific methodology (metodologi ilmiah), yang bertujuan to explain (menjelaskan) dan to predict (memprediksi) praktek akuntansi. Ini yang disebut oleh Watts and Zimmerman (1986) sebagai Positive Accounting Theory.

AGENCY THEORY: EXTREME “ACCOUNTING” WAYS
Pengembangan akuntansi kontemporer salah satunya adalah digunakannya Agency Theory dalam menjustifikasi akuntansi positif. Agency Theory biasanya dilihat sebagai konflik kepentingan (conflict of interest) dalam akuntansi dan perusahaan. Menurut Baiman (1990) terdapat 3 model hubungan agensi yaitu The Principal-Agent Model, The Transaction Cost Economics Model, The Rochester Model. Ketiganya memiliki dua kerangka kesamaan dan dua perbedaan. Kesamaannya, pertama, ketiganya memahami ketentuan dan penyebab hilangnya efisiensi yang diciptakan oleh divergensi antara perilaku kerjasama dan kepentingan indiividu; kedua, ketiganya menganalisa dan memahami implikasi perbedaan proses pengendalian menghindari hilangnya efisiensi pada masalah agensi. Sedangkan perbedaannya, pertama, menekankan perbedaan sumber-sumber divergensi perilaku kerjasama dan kepentingan individu; kedua, menekankan perbedaan aspek pada agenda riset pada umumnya; ketiga, pemodelanberhati-hati yang mendasari konteks ekonomi yang menyebabkan timbulnyamasalah agensi; keempat, derivasi optimalisasi hubungan kerja dan memahami bagaimana hubungan kerja yang meringankan masalah agensi; kelima, komparasi hasil-hasil untuk melakukan observasi praktik model yang dipakai dan menganalisanya.Artinya dalam kerangka umum model hubungan agensi memperlihatkan bahwa manajer melakukan maksimasi expected utility agar dapat mempengaruhi desain kontrak kerja mereka. Pemilik dan manajer secara bersama dibatasi biaya atas masalah agensi, sehingga memerlukan insentif untuk mendesain kontrak yang mengurangi secara efisien masalah agensi. Dua tokoh utama (principal dan agent) dalam interaksi bisnis tersebut sebenarnya mengarah pada kepentingan yang sama, yaitu wealth, kekayaan.Bentuk ekstrim (extreme ways) dari agency theory sendiri sebenarnya adalah ketika hubungan agensi dijadikan mekanis-matematis untuk kepentingan legitimasi kepentingan “mutualis insklusif “. Bentuknya adalah dengan Portofolio Theory, Beta Theory, Efficient Market Hyphotesis dan Capital Asset Pricing Model, Pecking Order Theory, Modigliani-Miller Theory dan lain sebagainya. Semuanya yang merupakan jargon - jargon hegemonik finance yang diadaptasi dalam Akuntansi positif. Akhirnya, akuntansi menjadi alat yang powerfull untuk memberikan keuntungan yang sebesar-besarnya kepada pemilik modal di satu sisi, juga dapat memberikan manfaat injeksi modal dan investasi yang makin besar dan linier kepada agen dari pemilik modal, yaitu manajemen perusahaan, dalam mengelola perusahaan.


MEMUNCULKAN CINTA DALAM AGENCY THEORY
Ditegaskan oleh Watts (1992) bahwa hubungan agensi kaitannya dengan laporan keuangan perusahaan sangat dipengaruhi oleh kepentingan pasar dan politik. Penjelasan Watts (1992) mengenai teori akuntansi dan realitas empiris ini telah memberikan penegasan bahwa akuntansi merupakan realitas itu sendiri. Realitas tidak dapat digagas dari teori normatif yang unsienctific. Teori yang dibangun dari gagasan normatif bukanlah sebuah kebenaran yang dapat menjadi “main guidance” bagi realitas empiris akuntansi. Main guidance dalam pikiran Watts (1992) adalah realitas empiris yang harus selalu beradaptasi dengan lingkungannya, tidak tetap (tetapi relatif), sebagai hasil interaksi dan keinginan dan egoisme individu (self-interest) yang rasional, baik berbentuk hubungan agensi di dalam market process maupun political process.Berkaitan dengan Redefinisi Konsep Politisasi Akuntansi, Cooper dan Sherer (1984) memang melihat masih terdapatnya kesalahan dalam asumsi dasar akuntansi saat ini yang masih berbasis pada kepentingan shareholders. Menurut mereka kepentingan pemegang saham atau manajemen perusahaan mendominasi konsekuensi ekonomi dari laporan akuntansi meskipun ada pengakuan pada level konseptual atas pendekatan bahwa kelompok lain dalam masyarakat itu ada. Hal ini disebut akuntansi yang berbasis pada economic consequences analysis. Dari pemikiran tersebut mereka kemudian menyetujui pemikiran Tinker (1980) mengenai perlunya perubahan asumsi dasar akuntansi yang berbasis pada political economy of accounting (PEA).Cooper dan Sherer (1984) lebih percaya pada asumsi dasar konflik daripada harmoni yang dapat menjadi tempat bersembunyinya domnasi dan alienasi. Meskipun begitu penekanan realitas yang selalu konflik juga akan mempengaruhi struktur perusahaan yang akan selalu didera dominasi power dan konflik. Artinya bentuk laporan distribusi income, wealth dan power harus selalu dilandasi nilai normatif konflik dan adanya pemaksaan bentuk laporan akuntansi. Meskipun yang mungkin menurut saya sesuai hanyalah asumsi dasar keseimbangan dan emansipasi. Gagasan PEA memang baik dalam cara melakukan perlawanan terhadap dominasi nilai akuntansi yang akut berbasis self-interest dan kooptasi metodologi berbasis statistical context. Positive approach memang menekankan pada prediksi dan ekplanasi, berbeda dengan PEA, atau dapat dikatakan value-free versus value laden. Artinya PEA tidak menolak penekanan normatif, deskriptif, tetapi hal itu merupakan penekanan pada tahapan dan kepentingan penelitian. PEA tidak harus kualitatif dapat pula berbentuk kuantitatif. Dengan syarat setiap metodologi tidak pernah hilang dari masalah value laden. Tawaran alternatif ini memberi gambaran yang lebih konkret bahwa yang paling penting dalam perubahan bukan metodologinya tetapi paradigma dan nilai.Tetapi PEA masih terperangkap dalam realitas empiris yang sarat ‘konflik’ dan ‘politisasi’ kepentingan-kepentingan dengan cara memperluas karakter pelaporan akuntansi dengan mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi dan politik. Belum sampai pada karakter penyelamatan kerusakan lingkungan akibat dominasi akuntansi saat ini. Kalaupun dari critical approach yang kemudian memunculkan social accounting dengan bentuk konsep riilnya yaitu corporate social responsibility dengan bentuk laporan keuangan corporate social reporting (misalnya Gray et. al. 1988; Gray et. al. 1995; Gray et. al. 1996; Mook 2003; Mook et. al. 2003; Mook et. al. 2005) sebagai supplant dan bukan supplement dari Imperium Triumvirat Financial Statement (Income Statement, Balance Sheet dan Cashflow). Tetapi ekstensi yang dilakukan PEA maupun social accounting tetap pada konsepsi materi. Perluasannya adalah pada konsepsi pengukuran finansial dan non-finansial. Nilai-nilai non materi tidak pernah terdeteksi. Akuntabilitas dan social welfare yang asasi bukan demi kepentingan masyarakat atau lingkungan saja.Di samping itu PEA belum mendefinisikan “nilai” lebih utuh, tetapi baru meletakkan konsepsi nilai dalam konteks ontologi dan epistemologi. Konteks aksiologis dianggap terpisah meskipun hal itu secara implisit ada. Tetapi nilai aksiologis tidak seharusnya bermakna implisit. Aksiologis memang biasanya berkonotasi kebaikan dan bukannya konflik atau mengakui ketidakseimbangan. Hal ini sama seperti nyanyian Kantata Takwa:
Orang-orang harus dibangunkan,
Aku bernyanyi menjadi saksi
Kenyataan harus dikabarkan,
Aku bernyanyi menjadi saksi

Tetapi lirik lagu Kantata Takwa harusnya mungkin lebih dari itu:
Kebaikan harus ditebarkan,
Kesabaran harus dipelihara,
Kebenaran harus diperjuangkan,
Kita bernyanyi menjadi saksi

Memang kenyataan harus disampaikan. Menyampaikannya harus dalam konteks konflik dan kekuasaan yang hal itu dalam level aksiologis dapat berarti melakukan tindakan yang bermanfaat tetapi tidak etis. Artinya, dalam konteks “nilai aksiologis” akuntansi kritis masih belum menginjak asas etis tetapi baru pada asas manfaat. Berbeda dengan akuntansi positif yang jelas-jelas tidak lagi memakai asumsi aksiologis. Meskipun mereka juga memiliki asumsi aksiologis yang sangat egoistis.Pertanyaannya, apakah mungkin mengembangkan teori agensi yang tidak bersifat formalistik kontraktual dengan konsep reward dan punishment saja, atau mungkin menumbuhkan sikap altruistik saja? Apakah memang bisa bangunan materi harus memberi dampak sosial dan sekaligus spiritual? Apakah materi dapat dibangun dengan hubungan sosial yang lebih arif dan saling berbagi, untuk mencapai kebermaknaan hidup, yaitu CINTA?Hubungan agensi dengan demikian tidak dibangun dari akar self-interest, tetapi dengan cinta. Cinta akan tetap memberi kemanfaatan materi, saling berbagi dan kebermaknaan hidup. Mudahnya, bila konsep kekayaan hanya dipandang sebagai bentuk ekonomi semata, maka yang terjadi adalah konflik kepentingan di atas hubungan kooperatif. Tetapi bila konsep kekayaan dipandang sebagai bentuk trilogi, maka ada proses trust yang masuk dalam mekanisme hubungan, trust yang didasari oleh cinta dan saling berbagi. Gagasan ini memang mirip seperti model principal-agent yang lebih teoritis dan perlu diuji secara empiris, daripada mendekat pada model positivist yang lebih empiris tetapi akan mereduksi konsep teoritis yang sebenarnya penting seperti juga ditegaskan oleh Eisenhardt (1989).Bagaimana bentuk dari Agency Theory penuh Cinta? bersambung… by Ajie

Senin, 12 Januari 2009

Tazkiyah Tujuan Akuntansi Syariah.

Bapak, ibu saudara sekalian, berikut ditampilkan konsep tujuan akuntansi syariah . Konsep tujuan akuntansi syariah di sini merupakan rangkuman dari beberapa artikel saya yang telah dipresentasikan di beberapa forum nasional akuntansi maupun akuntansi syari’ah.Silakan melakukan “quotation” atau mencuplik konsep ini sesuai akhlak (etika) akademis Islami yang benar dan santun, dengan mencantumkan sumbernya…lebih baik lagi apabila bapak-ibu beri komentar atas tulisan saya ini, serta mencantumkan email atau identitas yang bisa diajadikan database saya… ) ya kalau ikhlas … kalau nggak ya gpp… wong katanya ilmu harus berbagi…dan silaturrahmi kan juga harus dibagi… ya kan D …Jazakumullah khairan katsir…Barakallah…

Menggagas akuntansi syariah yang ideal bukan hanya melakukan dekonstruksi akuntansi
Menggagas akuntansi syariah yang ideal juga bukan hanya melakukan rekonstruksi akuntansi syari’ah pragmatis
Menggagas akuntansi syariah yang ideal adalah melampaui (beyond) sekaligus melebihi (hyper) atas keduanya
Puncak akuntansi syariah yang ideal adalah pensucian (tazkiyah)
Itulah tujuan akuntansi syariah yang sebenarnya…

Tazkiyah menurut Mulawarman (2006a; 2006b; 2007a; 2007b; 2007c) secara harfiah adalah pensucian. Tazkiyah merupakan proses dinamis untuk mendorong individu dan masyarakat tumbuh melalui pensucian terus-menerus. Menurut Ahmad dalam Gambling dan Karim (1991; 33) pertumbuhan dan perubahan serta peningkatan manfaat materi dalam konsep Tazkiyah bukan hanya “berdampak”, tetapi “memiliki keutamaan”, pada keadilan sosial dan pengembangan spiritual yang lebih baik bagi umat. Tazkiyah mempunyai sifat menyeluruh dan mencakup aspek moral, rohani dan material yang terikat satu sama lainnya. Semuanya berorientasi pada optimasi cita-cita dan nilai kesejahteraan manusia dalam semua dimensi, baik dunia maupun akherat. Tazkiyah juga mencakup seluruh perubahan dan keseimbangan kuantitatif maupun kualitatif. Penjelasan lebih detil juga dapat dibaca dalam Mulawarman (2006a) Bab 4, 6,7,8,9,10.

Tazkiyah motivasi dan tujuan dalam akuntansi syariah menurut Mulawarman (2007a; 2007b) pada dasarnya dilakukan untuk melakukan pencerahan dan pembebasan dari hegemoni korporasi dan pemilik modal yang telah mengakar kuat dalam seluruh bangunan akuntansi (Mulawarman 2006a; Mulawarman 2006b). Tazkiyah tujuan akuntansi syariah harus diarahkan pada pemahaman Tawhid, yaitu pemahaman kepada sang Pencipta, Allah SWT. Dari titik sentral Tuhan, beranjak pada cinta manusia pada Tuhan-Alam-Manusia, berlanjut pada akuntabilitas, dan proses terakhir adalah pemahaman terhadap informasi, yaitu bentuk pencatatan untuk mencapai tujuan (Mulawarman 2007a; 2007b) .

Nilai-nilai Islam menurut Mulawarman (2006a; 2006b; 2007a; 2007b; 2007c) berdasarkan Tawhid merupakan nilai yang dianut setiap Muslim dalam keimanan dan penegasan atas Keesaan Allah. Keimanan dilanjutkan pada kepatuhan menjalankan syari’at sebagai penyerahan diri sebagai hamba Allah (‘abd Allah) (QS: 51:56; 36:61; 6:162). Setelah itu manusia harus terjun dalam hiruk pikuknya dunia sebagai Khalifatullah fil ardh (QS. 35:39). Untuk melaksanakan koeksistensi tujuan manusia tersebut Allah memberikan perangkat-perangkat hukum (syari’at) yang bersumber pada Al Qur’an dan As Sunnah. Manusia diberi kebebasan memilih bentuk-bentuk muamalah sesuai potensi dan kesempatan yang dimilikinya (Ibad, 2003). Dengan itu pula manusia menurut Mas‘udi (1995) tidak memiliki maqashid asy-syari’ah (tujuan syari’ah) lain kecuali kemaslahatan manusia dalam bentuk keadilan sosial.Berdasarkan kesejahteraan untuk semua itulah menurut Mulawarman (2007a; 2007b) kemudian konsep Tazkiyah menjadi konsep yang harus selalu hadir sebagai bagian dari ciri khas Islam. Usaha manusia memperoleh harta benda yang mencukupi kehidupannya merupakan jawaban terhadap panggilan dan tuntutan fitrah dan nafsunya yaitu cinta pada harta benda. Hal ini bukanlah penyimpangan dan bukan pula pengahalang untuk mencapai ridha Allah. Karena cinta harta merupakan fitrah sejak ia diciptakan namun manusia dalam memenuhi tuntutan nafsunya berkewajiban untuk menjaga batas-batas syari’at dan menggunakan cara yang disyari’atkan (lihat misalnya QS. 18: 46; 89: 20; 100: 8).Cinta harta lanjut Mulawarman (2007a; 2007; 2007c) harus diarahkan pada tiga hal. Pertama kecintaan harta sesuai maqashid asy-syari’ah untuk merealisasikan kemashlahatan dunia dan alam semesta sekaligus. Kedua, tugas (Khalifatullah fil ardh) dan pengabdiannya (abd’ Allah). Ketiga, fitrah kemanusiaan lainnya yang berlawanan dengan kecintaan harta yaitu kedermawanan. Ketiga hal itu hanya dapat terlaksana dengan jalan niat dan penyucian (tazkiyah) secara terus menerus .

Tujuan akuntansi syariah tegas Mulawarman (2007a; 2007b) dengan demikian adalah merealisasikan kecintaan utama kepada Allah SWT, dengan melaksanakan akuntabilitas ketundukan dan kreativitas, atas transaksi-transaksi, kejadian-kejadian ekonomi serta proses produksi dalam organisasi, yang penyampaian informasinya bersifat material, batin maupun spiritual, sesuai nilai-nilai Islam dan tujuan syariah.

Oleh: AJI DEDI MULAWARMAN

Review Exposure Draft Akuntansi

Bismillahirrahmaanirrahim

1. Miskonsepsi Paradigma Transaksi Syariah dalam Akuntansi Syariah
Terdapat miskonsepsi antara Paradigma, Asas dan Karakteristik Transaksi Syariah (Kaidah 1) dengan Tujuan Laporan Keuangan, Asumsi Dasar dan Karakteristik Kualitatif Laporan Keuangan (Kaidah 2). Kaidah 1 mengatur fungsi transaksi yang dilakukan entitas syariah. Kaidah 2 mengatur fungsi pencatatan dan penyampaian informasi yang dilakukan entitas syari’ah. Perbedaan fungsi Kaidah 1 dan Kaidah 2 merupakan kriteria yang sangat mendasar. Kaidah 1 memang dapat berpengaruh terhadap kaidah 2 , berkaitan apa yang akan dicatat dan diinformasikan dalam laporan keuangan. Tetapi fungsi kaidah 2 sebenarnya tidak hanya melakukan pencatatan dan penginformasian transaksional saja. Kaidah 2 di samping mencatat fungsi transaksi, juga mencatat kejadian atau aktivitas ekonomi yang tidak dan belum melibatkan transaksi yang dicantumkan dalam Kaidah 1. Kejadian ekonomi berhubungan dengan:

a. Aset dan Kewajiban

Penilaian aset dan kewajiban dipengaruhi kejadian baik sebagian atau keseluruhannya di luar transaksi. Contohnya adalah kenaikan harga, akresi (pertumbuhan alamiah), apresiasi (selisih nilai pasar wajar) penyusutan, pencurian, kejadian luar biasa, intangible asset, operasi mesin atau pabrik untuk produksi, goodwill, pemeliharaan, beban pengiriman barang dan jasa, dan lain-lain.

b. Pendapatan

Proses produksi yang dipengaruhi kejadian menyebabkan naiknya nilai aset sebelum dilakukan penentuan harga jual dan dilakukan penjualan, dan lain-lain. Dalam konsep pembentukan pendapatan terdapat titik-titik tertentu yang tidak berhubungan dengan proses transaksi. Misalnya produk selesai diproduksi sebelum penjualan untuk industri ekstraktif seperti pertambangan, pertanian, perkebunan, dan lainnya. Kemudian, pemindahan barang jadi dari pabrik ke gudang

c. Biaya

Penurunan nilai aset, sediaan barang atau ekuitas yang dipengaruhi kejadian dapat dianggap sebagai biaya. Dalam proses pembentukan biaya juga terdapat biaya yang tidak terkait dengan transaksi, seperti kos produksi, kos non produksi. Di samping pembentukan biaya juga terdapat masalah yang menyebabkan terjadinya biaya seperti produk Usang dan Barang Rusak. Juga mengenai depresiasi baik akibat proses akumulasi dana, pemulihan investasi, proses penilaian.

d. Eksternalitas yang berhubungan aktivitas sosial dan lingkungan

e. Kejadian yang berhubungan aktivitas non-ekonomi lainnya

2. Tujuan, Asumsi Dasar, Unsur, Pengakuan dan Pengukuran Laporan Keuangan

ED akuntansi syariah hanya memusatkan pada dua hal yang utama, yaitu informasi ekonomi dan sosial. Informasi ekonomi masih menekankan pada pentingnya bottom line laba yang tidak sesuai dengan paradigma transaksi syariah. Informasi sosial hanya berhubungan dengan bentuk qardhul hasan dan pengelolaan zakat. Dalam paradigma transaksi syari’ah paragraf 12, 13, 14 memuat beberapa prinsip utama:

a. Akuntabilitas

Akuntabilitas utama dalam paragraf 12 adalah pada Allah SWT sebagai pencipta alam semesta, dan untuk kebahagiaan hidup dan kesejahteraan hakiki secara material dan spiritual. Hal ini tidak nampak pada laporan laba rugi, neraca, laporan arus kas dan laboran perubahan modal untuk entitas bisnis syari’ah. Bottom line laba dalam laporan laba rugi jelas memberi prioritas utama pertanggungjawabannya kepada pemilik modal atau investor. Sedangkan hubungannya dengan stakeholders, alam dan Tuhan dianggap sebagai biaya. Artinya disini akuntabilitas yang dipentingkan bukan kepada Allah, dan implikasinya kepada alam dan stakeholders, tetapi utamanya kepada pemilik modal maupun investor.

b. Perangkat Syari’ah dan Akhlak sebagai prinsip dari asas transaksi syariah (paragraf 15 -26) dan karakteristik transaksi syariah (paragraf 27-29) hanya nampak dalam tujuan laporan keuangan tetapi tidak nampak secara utuh dan menyeluruh (kecuali dalam beberapa poin) dalam asumsi dasar, karakteristik, unsur dan pengakuan laporan keuangan.

b.1. Asumsi dasar laporan keuangan akuntansi syariah masih menetapkan kelangsungan usaha dan sistem akrual (paragraf 41 dan 43). Dua asumsi tersebut sangat bertentangan dengan prinsip dan akhlak syariah bahkan tujuan laporan keuangan akuntansi syariah. Asumsi kelangsungan usaha memang memiliki pendekatan akuntabilitas berbasis entity theory yang mementingkan pemilik modal dan investor saja (lihat point 2.i.a.). Sedangkan dalam asumsi dasar akrual tidak sepenuhnya dapat digunakan secara langsung. Seperti diketahui bahwa prinsip akrual melakukan pencatatan fakta (merekam arus kas masa kini), potensi (merekam arus kas masa depan) dan konsekuensi (merekam arus kas masa lalu). Khusus mengenai pencatatan potensi menggunakan prinsip present value yang sarat dengan penghitungan bernuansa riba dan gharar.

b.2. Unsur laporan keuangan akuntansi syariah terutama laba masih menggunakan konsep income yang memang merupakan konsekuensi digunakannya entity theory. Tidak menyesuaikan konsep income berdasar pada shari’ate enterprise theory yang menggunakan konsep nilai tambah yang sesuai prinsip transaksi syariah.

b.3. Pengakuan unsur-unsur dalam laporan keuangan akuntansi syariah masih didasarkan pada prinsip akuntansi konvensional (paragraf 110). Proses pengakuan seperti ini akan berdampak pada hilangnya paradigma transaksi syariah dan akhlak (seperti tidak mengandung unsur riba, haram, gharar, dan prinsip syariah lainnya.

3. Bentuk Laporan Keuangan

Dampak miskonsepsi antara Kaidah 1 dan Kaidah 2 jelas kurang sesuai dengan nilai-nilai Islam dan tujuan syariah (maqashid asy-syari’ah). Laporan Nilai Tambah Syariah, Neraca Berbasis Nilai Sekarang, Aliran Kas Syariah dan Laporan Respon Sosial dan Lingkungan, tidak menjadi laporan utama dan bahkan tidak di akomodasi dalam laporan keuangan syari’ah dalam ED.

4. Saran-saran Perbaikan ED Akuntansi Syariah

Perlu dilakukan perubahan dan perbaikan mengenai beberapa hal agar terdapat konsistensi dengan paradigma syariah. Berikut beberapa hal yang perlu dilakukan perubahan:

a. Perubahan Paradigma Transaksi Syariah

Agar paradigma transaksi syariah dapat memayungi seluruh kejadian dan aktivitas yang berhubungan dengan pencatatan akuntansi bagi entitas syariah diperlukan perubahan dari Paradigma Transaksi Syariah menjadi Paradigma Transaksi dan Kejadian Ekonomi Syariah. Perubahan ini akan memberi tuntunan yang lebih pasti terhadap ketentuan-ketentuan pencatatan sampai penyampaian informasi akuntansi yang menyeluruh baik mengenai transaksi maupun kejadian ekonomi lain dalam entitas bisnis.

b. Perubahan Asumsi Dasar Akuntansi Syariah

Asumsi dasar akrual seharusnya dirubah menjadi Sinergi Akrual dan Cash Basis. Khusus akrual diperlukan penjelasan lebih detil khusus pencatatan potensi untuk menghindari terjadinya transaksi dan kejadian ekonomi lainnya yang bertentangan paradigma transaksi dan kejadian ekonomi syariah. Sedangkan asumsi dasar kelangsungan usaha dirubah menjadi asumsi dasar kerjasama usaha yang berbasis pada shariate enterprise theory. Asumsi dasar kerjasama usaha mengakui bahwa akuntabilitas bukan hanya pada kepentingan pemilik modal dan investor saja, tetapi akuntabilitas yang lebih luas. Akuntabilitas pada partisipan langsung (pemegang saham, karyawan, pemerintah, kreditor, pemasok, pelanggan dan lainnya) tidak langsung (mustahiq, lingkungan alam) serta dilakukan dalam rangka ketundukan (pertanggungjawaban kepada Allah/abd’Allah) dan kreativitas (pertanggungjawaban kepada manusia, sosial dan alam/khalifatullah fil ardh).

c. Perubahan Unsur Laporan Keuangan Akuntansi Syariah

Perubahan asumsi dasar akan berdampak pada unsur laporan keuangan, terutama pada unsur laba (income). Perubahan laba dari laba akuntansi menjadi nilai tambah syari’ah harus selalu bernilai suci (tazkiyah) mulai dari proses pembentukan sumber, proses, sampai distribusinya. Semua harus jelas pengakuan dan pengukurannya yang sesuai syariah. Artinya, unsur atau elemen laba dirubah menjadi elemen nilai tambah syariah.

d. Perubahan Pengakuan Laporan Keuangan Akuntansi Syariah

Penggunaan nilai tambah syariah berdampak pada prinsip pengakuan. Transaksi dan kejadian ekonomi lain dapat diakui ketika telah disucikan (tazkiyah) atau disesuaikan dengan prinsip pengakuan halal, bebas riba dan bebas gharar.

e. Perubahan Bentuk Laporan Keuangan Akuntansi Syariah

Berdasarkan pada perubahan-perubahan poin a-e, maka bentuk laporan keuangan yang diperlukan perubahannya adalah:

e.1. Laporan Laba Rugi dirubah menjadi Laporan Nilai Tambah Syariah
e.2. Neraca dirubah menjadi Neraca Berbasis Nilai Sekarang
e.3. Perlu penambahan Laporan Sosial dan Lingkungan

Demikian review dan saran yang kami sampaikan, semoga dapat menjadi bahan revisi Exposure Draft Akuntansi Syariah secara komprehensif.

Billahittaufiq wal hidayah.
Oleh: AJI DEDI MULAWARMAN